LEARNING ORGANIZATION PADA ASPEK PERSONAL MASTERY







PAPER FINAL EXAM
 

Mata Kuliah         : Leadership & System Thinking


Pendekatan Learning Organization pada Aspek Personal Mastery
“Alternatif Penyelesaian Konflik dalam Lingkup Keluarga”



O L E H

FEBRIANY ANGRAENI PUTRI
P1806215023



KONSENTRASI MANAJEMEN RUMAH SAKIT
 PRODI KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
 




I.      PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat dibawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Depkes RI,1998). Sebagai suatu unit, keluarga dibedakan menjadi 2, yaitu Keluarga Kecil atau “Nuclear Family”atau keluarga inti adalah unit keluarga yang terdiri dari suami, isteri, dan anak-anak mereka; dan Keluarga Besar “Extended Family” yaitu didasarkan pada hubungan darah dari sejumlah besar orang, yang meliputi orang tua, anak, kakek-nenek, paman, bibi, kemenekan, dan seterusnya.
Benih akal penyusunan kematangan individu dan struktur kepribadian terbentuk terbentuk dalam keluarga. Anak-anak mengikuti orang tua dan berbagai kebiasaan dan perilaku, dengan demikian keluarga adalah elemen pendidikan lain yang paling nyata, tepat dan amat besar. Pengaruh dalam keluarga berdampak besar dalam pembentukan perilaku individu, karena melalui keluarga anak-anak mendapat bahasa, nilai-nilai serta kecenderungan yang akan terus terbentuk hingga usia dewasa bahkan mungkin seumur hidup. Sebagai salah satu elemen pokok pembangunan entitas-entitas pendidikan, keluarga diharapan menciptakan proses naturalisasi sosial, membentuk kepribadian-kepribadian serta memberi berbagai kebiasaan yang baik pada anak-anak dan akan terus bertahan lama.
Keluarga mempunyai komponen-komponen yang membentuk keluarga itu. Komponen-komponen itu ialah anggota keluarga. Dengan setiap anggota keluarga memiliki perannya masing-masing. Umumnya dalam suatu keluarga “suami” atau “ayah” berperan sebagai kepala keluarga. Dengan kata lain “suami” atau “ayah” ini adalah seorang pemimpin dari suatu organisasi kecil (sekumpulan anggota keluarga).
Menurut Joseph Rist (1993), defisini kepemimpinan adalah sebuah hubungan yang saling mempengaruhi di antara pemimpin dan pengikut yang menginginkan perubahan nyata yang mencerminkan tujuan bersamanya. Arti kepemimpinan itu berbeda dengan arti dari pemimpin. Pemimpin adalah orang yang tugasnya memimpin, sedangkan kepemimpinan adalah suatu bakat atau sifat  yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin.
Kepemimpinan membutuhkan penggunaan kemampuan secara aktif untuk mempengaruhi pihak lain dan dalam mewujudkan tujuan organisasi atau lembaga yang telah ditetapkan lebih dahulu. Sebuah kepemimpinan melibatkan hubungan pengaruh yang mendalam, yang terjadi diantara orang-orang yang menginginkan perubahan signifikan dan perubahan tersebut mencerminkan tujuan yang dimiliki bersama oleh pemimpin dan pengikut. Pengaruh dalam hal ini berarti hubungan di antara pemimpin dan pengikut sehingga bukan sesuatu yang bersifat pasif, tetapi merupakan suatu hubungan timbal balik dan tanpa paksaan. Dengan demikian kepemimpinan itu sendiri merupakan proses yang saling mempengaruhi.
Orang yang terlibat dalam hubungan antara pemimpin dan bawahan menginginkan sebuah perubahan sehingga pemimpin diharapkan mampu menciptakan perubahan yang signifikan dalam organisasi dan bukan mempertahankan status quo. Perubahan bukan sesuatu yang diinginkan pemimpin, tetapi lebih pada tujuan yang diinginkan dan dimiliki bersama.
Ada 5 tipe kepemimpinan yaitu, Pertama tipe Otokratis (menganggap dialah yang paling benar dan dalam menggerakkan bawahan melalui pendekatan (approach) paksaan dan ancaman); Kedua adalah tipe Militeristis (mempunyai sifat-sifat suka memerintah dan dalam menggerakkan bawahan sangat suka menggunakan pangkat dan jabatannya);Ketiga tipe pemimpin Paternalistis (bersifat fathernal atau kebapakan dengan menggunakan pendekatan yang dilakukan bersifat sentimentil); Keempat tipe kepemimpinan Karismatis (mempunyai daya tarik yang amat besar dan dikatakan bahwa pemimpin yang demikian diberkahi dengan kekuatan gaib (supernatural powers); Kelima tipe kepemimpinan Demokratis (mendahulukan kepentingan kelompok dibandingkan dengan kepentingan individu, senang menerima saran, pendapat dan kritik, mentolerir bawahan yang membuat kesalahan dan berikan pendidikan kepada bawahan agar jangan berbuat kesalahan dengan tidak mengurangi daya kreativitas, inisyatif dan prakarsa dari bawahan Juga lebih menitik beratkan kerjasama dalam mencapai tujuan.
Keluarga membentuk suatu organisasi yang bekerja secara sistem. Dengan filosofi sistem yang apabila komponen pembentuk sistem tidak berfungsi dengan baik akan dapat menganggu fungsi dari sistem itu sendiri. Keluarga terdiri dari beberapa anggota keluarga yang memiliki kepribadian berbeda-beda walaupun berhubungan karena ikatan darah tetap akan timbul konflik. Konflik bisa menjadi sebuah media pembelajaran bagi suatu keluarga ketika disikapi dengan tindakan yang tepat. Namum jika konflik dalam suatu keluarga dibiarkan berlarut tanpa ada tindakan untuk diselesaikan maka akan menjadi jurang yang dapat memecah hubungan kekerabatan sekalipun.
Ketika terjadi konflik, dibutuhkan suatu peran dari kepala keluarga sebagai pemimpin mengarahkan anggota keluarga lain untuk mencari titik penyebab masalah di organisasi kecilnya, memutuskan tindakan terbaik sebagai jalan keluar masalah melalui diskusi. Itu ketika sistem berjalan sesuai fungsinya. Namum ketika sistem dengan komponen sistem tidak berfungsi sebagaimana mestinya bisa akibat dari keegoisan, kurang komunikasi, ketidak terbukaan, dan banyak hal lainnya. Maka dibutuhkan suatu tindakan pembelajaran bagi komponen sistem terutama pada pemimpin organisasi, agar organisasi dapat bertahan dan bertumbuh kembang menjadi organisasi keluarga yang kuat.
Membangun keluarga itu tidak bisa belajar dari hal yang benar karena belum terjadi. Karena seseorang yang memulai membentuk suatu keluarga, akan belajar dari pengalaman yang nantinya akan mereka alami. Dan belajar itu tidak selalu didapat dari hal yang benar. Terkadang Kita pun belajar dari suatu kesalahan. Carl Jung berpendapat, bahwa pengetahuan itu tidak selamanya bersumber pada tindakan yang benar tetapi bisa bersumber dari tindakan yang salah. Maka dibutuhkan suatu proses pembelajaran dimana keluarga yang anggotanya sadar akan proses learning (pembelajaran). Dan learning (pembelajaran) itu sendiri adalah proses mengubah sesuatu agar bisa menjadi lebih baik, dan dalam proses learning ini pun butuh suatu praktek, baik itu praktek yang salah ataupun yang benar.
Maka melalui makalah ini akan diuraikan terkait penyelesaian konflik/ kesalahan dalam keluarga melalui pendekatan learning organization dari aspek personal mastery para anggota keluarga.
B.   Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah menguraikan pendekatan learning organization pada aspek personal mastery sebagai alternatif penyelesaian konflik dalam lingkup keluarga sehingga keluarga dapat menjadi organisasi yang berkembang dan bertahan. 












II.     TINJAUAN PUSTAKA

A.   Keluarga
1.  Pengertian Keluarga
Keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidup dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan didalam perannya masing-masing menciptakan serta mempertahankan kebudayaan (Friedman, 2010).
Sedangkan menurut Ali (2010), keluarga adalah dua atau lebih individu yang bergabung karena hubungan darah, perkawinan dan adopsi dalam satu rumah tangga, yang berinteraksi satu dengan lainnya dalam peran dan menciptakan serta mempertahankan suatu budaya.
Dalam pengertian sosiologis, secara umum keluarga dapat didefinisikan sebagai suatu kelompok dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan, darah, atau adopsi, merupakan susunan rumah tangga sendiri, berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan sosial bagi suami istri, ayah dan ibu, putra dan putrinya, saudara laki-laki dan perempuan serta merupakan pemeliharaan kebudayaan bersama.
Dapat saya simpulkan bahwa keluarga adalah sekumpulan orang yang karena ikatan darah ataupun ikatan perkawinan yang saling berinteraksi dan menjalankan perannya masing-masing. Umumnya dalam suatu keluarga terdiri dari Bapak, Ibu, dan anak-anaknya ataupun anggota keluarga yang lainnya.
2.  Fungsi Keluarga
Berdasarkan UU No.10 tahun 1992 PP No.21 tahun 1994 tertulis fungsi keluarga dalam delapan bentuk yaitu :

a.  Fungsi Keagamaan
1)  Membina norma ajaran-ajaran agama sebagai dasar dan tujuan hidup seluruh anggota keluarga.
2)  Menerjemahkan agama kedalam tingkah laku hidup sehari-hari kepada seluruh anggota keluarga.
3)  Memberikan contoh konkrit dalam hidup sehari-hari dalam pengamalan dari ajaran agama.
4)  Melengkapi dan menambah proses kegiatan belajar anak tentang keagamaan yang kurang diperolehnya disekolah atau masyarakat.
5)  Membina rasa, sikap, dan praktek kehidupan keluarga beragama sebagai pondasi menuju keluarga kecil bahagia sejahtera.
b.  Fungsi Budaya
1)  Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga untuk meneruskan norma-norma dan budaya masyarakat dan bangsa yang ingin dipertahankan.
2)  Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga untuk menyaring norma dan budaya asing yang tidak sesuai.
3)  Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga yang anggotanya mencari pemecahan masalah dari berbagai pengaruh negatif globalisasi dunia.
4)  Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga yang anggotanya dapat berpartisipasi berperilaku yang baik sesuai dengan norma bangsa Indonesia dalam menghadapi tantangan globalisasi.
5)  Membina budaya keluarga yang sesuai, selaras dan seimbang dengan budaya masyarakat atau bangsa untuk menjunjung terwujudnya norma keluarga kecil bahagia sejahtera.



c.   Fungsi Cinta Kasih
1)  Menumbuhkembangkan potensi kasih sayang yang telah ada antar anggota keluarga ke dalam simbol-simbol nyata secara optimal dan terus-menerus.
2)  Membina tingkah laku saling menyayangi baik antar keluarga secara kuantitatif dan kualitatif.
3)  Membina praktek kecintaan terhadap kehidupan duniawi dan ukhrowi dalam keluarga secara serasi, selaras dan seimbang.
4)  Membina rasa, sikap dan praktek hidup keluarga yang mampu memberikan dan menerima kasih sayang sebagai pola hidup ideal menuju keluarga kecil bahagia sejahtera.
d.  Fungsi Perlindungan
1)  Memenuhi kebutuhan rasa aman anggota keluarga baik dari rasa tidak aman yang timbul dari dalam maupun dari luar keluarga.
2)  Membina keamanan keluarga baik fisik maupun psikis dari berbagai bentuk ancaman dan tantangan yang datang dari luar.
3)  Membina dan menjadikan stabilitas dan keamanan keluarga sebagai modal menuju keluarga kecil bahagia sejahtera.
e.  Fungsi Reproduksi
1)  Membina kehidupan keluarga sebagai wahana pendidikan reproduksi sehat baik bagi anggota keluarga maupun bagi keluarga sekitarnya.
2)  Memberikan contoh pengamalan kaidah-kaidah pembentukan keluarga dalam hal usia, pendewasaan fisik maupun mental.
3)  Mengamalkan kaidah-kaidah reproduksi sehat, baik yang berkaitan dengan waktu melahirkan, jarak antara dua anak dan jumlah ideal anak yang diinginkan dalam keluarga.
4)  Mengembangkan kehidupan reproduksi sehat sebagai modal yang kondusif menuju keluarga kecil bahagia sejahtera.

f.    Fungsi Sosialisasi
1)  Menyadari, merencanakan dan menciptakan lingkungan keluarga sebagai wahana pendidikan dan sosialisasi anak pertama dan utama.
2)  Menyadari, merencanakan dan menciptakan kehidupan keluarga sebagai pusat tempat anak dapat mencari pemecahan dari berbagai konflik dan permasalahan yang dijumpainya baik di lingkungan seko lah maupun masyarakat.
3)  Membina proses pendidikan dan sosialisasi anak tentang hal-hal yang diperlukan untuk meningkatkan kematangan dan kedewasaan (fisik dan mental), yang kurang diberikan oleh lingkungan sekolah maupun masyarakat.
4)  Membina proses pendidikan dan sosialisasi yang terjadi dalam keluarga sehingga tidak saja bermanfaat positif bagi anak, tetapi juga bagi orang tua, dalam rangka perkembangan dan kematangan hidup bersama menuju keluarga kecil bahagia sejahtera.
g.  Fungsi Ekonomi
1)  Melakukan kegiatan ekonomi baik di luar maupun di dalam lingkungan keluarga dalam rangka menopang kelangsungan dan perkembangan kehidupan keluarga.
2)  Mengelola ekonomi keluarga sehingga terjadi keserasian, keselarasan dan keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran keluarga.
3)  Mengatur waktu sehingga kegiatan orang tua di luar rumah dan perhatiannya terhadap anggota keluarga berjalan secara serasi, selaras dan seimbang.
4)  Membina kegiatan dan hasil ekonomi keluarga sebagai modal untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera.
h.  Fungsi Pelestarian Lingkungan
1)  Membina kesadaran, sikap dan praktik pelestarian lingkungan internal keluarga.
2)  Membina kesadaran, sikap dan praktik pelestarian lingkungan eksternal keluarga.
3)  Membina kesadaran, sikap dan praktik pelestarian lingkungan yang serasi, selaras dan seimbang dan antara lingkungan keluarga dengan lingkungan hidup masyarakat sekitarnya.
4)  Membina kesadaran, sikap dan praktik pelestarian lingkungan hidup sebagai pola hidup keluarga menuju keluarga kecil bahagia sejahtera (Setiadi, 2008).
3. Orang Tua
Menurut Miami dalam Zaldy Munir (2010:2) dikemukakan bahwa “Orang tua adalah pria dan wanita yang terikat dalam perkawinan dan siap sedia untuk memikul tanggung jawab sebagai ayah dan ibu dari anak-anak yang dilahirkannya”. Sedangkan menurut Widnaningsih dalam Indah Pertiwi (2010:15) menyatakan bahwa “orang tua merupakan seorang atau dua orang ayah-ibu yang bertanggung jawab pada keturunannya semenjak terbentuknya hasil pembuahan atau zigot baik berupa tubuh maupun sifat-sifat moral dan spiritual”.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa orang tua mempunyai tanggung jawab yang berat dalam memberikan bimbingan kepada anak-anaknya, tokoh ayah dan ibu sebagai pengisi hati nurani yang pertama harus melakukan tugas yang pertama adalah membentuk kepribadian anak dengan penuh tanggung jawab dalam suasana kasih sayang antara orang tua dengan anak. Pada keluarga anak pertama kali mengenal lingkungannya, kehidupan di luar dirinya. Sebagai makhluk sosial ia menyesuaikan diri dengan kehidupan bersama, dan yang memperkenalkan semua itu adalah orang tua, sehingga perkembangan anak ditentukan oleh situasi dan kondisi yang ada serta pengalaman-pengalaman yang dimiliki oleh orang tuanya.


4.  Macam-macam Peran Orang Tua
Menurut BKKBN dijelaskan bahwa peran orang tua terdiri dari:
a.  Peran sebagai pendidik
Orang tua perlu menanamkan kepada anak-anak arti penting dari pendidikan dan ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan dari sekolah. Selain itu nilai-nilai agama dan moral, terutama nilai kejujuran perlu ditanamkan kepada anaknya sejak dini sebagi bekal dan benteng untuk menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi.
b.  Peran sebagai pendorong
Sebagai anak yang sedang menghadapi masa peralihan, anak membutuhkan dorongan orang tua untuk menumbuhkan keberanian dan rasa percaya diri dalam menghadapi masalah.
c.   Peran sebagai panutan
Orang tua perlu memberikan contoh dan teladan bagi anak, baik dalam berkata jujur maupun ataupun dalam menjalankan kehidupan sehari-hari dan bermasyarakat.
d.  Peran sebagai teman
Menghadapi anak yang sedang menghadapi masa peralihan. Orang tua perlu lebih sabar dan mengerti tentang perubahan anak. Orang tua dapat menjadi informasi, teman bicara atau teman bertukar pikiran tentang kesulitan atau masalah anak, sehingga anak merasa nyaman dan terlindungi.
e.  Peran sebagai pengawas
Kewajiban orang tua adalah melihat dan mengawasi sikap dan perilaku anak agar tidak keluar jauh dari jati dirinya, terutama dari pengaruh lingkungan baik dari lungkungan keluarga, sekolah, maupun lingkungan masyarakat.
f.    Peran sebagai konselor
Orang tua dapat memberikan gambaran dan pertimbangan nilai positif dan negatif sehingga anak mampu mengambil keputusan yang terbaik.
Berbagai peranan yang terdapat di dalam keluarga dikemukakan oleh Slameto (1983:23) adalah sebagai berikut :
a.  Peranan Ayah: Ayah sebagai suami dari istri dan anak-anak, berperan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya.
b.  Peranan Ibu: Sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu juga ibu dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya.
c.   Peran Anak: Anak-anak melaksanakan peranan psikosial sesuai dengan tingkat perkembangannya baik fisik, mental, sosial, dan spiritual.
Melalui lingkungan kelurga anak mengalami proses sosialisasi awal. Orang tua biasanya mencurahkan perhatiannya untuk mendidik anak, agar anak tersebut memperoleh dasar dan pola pergaulan hidup yang benar dan baik, melalui penanaman disiplin dan kebebasan serta penyerasiannya. Pada saat ini orang tua dan anggota keluarga lainnya melakukan sosialisasi melalui kasih sayang, atas dasar kasih sayang itu dididik untuk mengenal nilai-nilai tertentu, seperti nilai ketertiban, nilai ketentraman dan nilai yang lainnya.



B.   Learning Organization
1.  Definisi Learning Organization
Learning Organization adalah suatu konsep yang berawal dari fenomena yang terjadi yaitu individu dan organisasi mengalami masalah persaingan. Sehingga bagaimana individu dalam organisasi tersebut dapat mempertahankan bahkan meningkatkan kemampuannnya dalam persaingan tersebut. Bagaimana organisasi dianggap mampu untuk terus menerus melakukan proses pembelajaran mandiri (self learning) sehingga organisasi tersebut memiliki ‘kecepatan berpikir dan bertindak’ dalam merespon beragam perubahan yang muncul.
Peter M. Senge menjelaskan tentang learning organization adalah:
this then, is the basic meaning of a “learning organization” – an organization that is continually expanding its capacity to create its future. For such an organization, it is not enaugh merely to survive. “Survival learning” or what is more often termed “adaptive learning” is important – indeed it is necessary. But for a learning, “adaptive learning” must be joined by “generative learning”, learning that enhances our capacity to create”.
Tugas dari organisasi belajar (learning organization):
a.  Meningkatkan kapasitas sejawat.
b.  Membangun kemampuan kolektif untuk memahami sistem.
c.   Menghilangkan permainan lama di tempat kerja.
d.  Teori dan pemahaman mendasar tentang dunia yang dikaji dan dikuasai agar bisa dipraktekkan.
e.  Didasarkan atas lima disiplin belajar.
f.      Menjadikan pembelajar seumur hidup pada jalur yang tidak berujung: paham akan “hakekat” institusi pembelajar
Senge mencatat tujuh penyakit yang menghambat pembelajaran (learning disabilities) yaitu:
a.  I am my position : kebiasaan melihat masalah dari sudut kepentingan sendiri ketimbang keseluruhan kepentingan didalam satu sistem. Semua boleh berubah, kecuali posisiku. Perilaku melihat masalah dari sudut pandang sendiri; tidak melihat kepentingan menyeluruh yang lebih besar.
b.  The enemy is out there: kebiasaan melihat kesalahan pada pihak lain, diluar diri sendiri, sebagai “kambing hitam”.
c.   The illusion of taking charge: kebiasaan sibuk bekerja tanpa mencari akar sebab dari masalah untuk memecahkan pada skala yang lebih luas.
d.  The fixation on events: kebiasaan melihat masalah pada peristiwa masa kini saja, ketimbang pada sebabnya yang berada jauh di belakang, dan dampaknya ke masa depan yang panjang.
e.  The parable of the boiled frog: kebiasaan menyesuaikan diri dengan sebab-sebab masalah yang kecil hingga sebab-sebab tersebut menumpuk, membesar, dan melumpuhkan kemampuan diri untuk mengatasinya.
f.      The delusion of learning from experience: kebiasaan untuk hanya belajar dari pengalaman sendiri, bukan dari pengalaman pihak yang terkena dampak sesuatu keputusan.
g.  The myth oh the management team: kebiasaan membentuk kelompok kerja untuk menangani sesuatu masalah dimana para anggotanya secara sempit hanya memperhatikan kepentingan diri dan satuan organisasinya, bukan kepentingan keseluruhan organisasi yang menjangkau jauh kemasa depan.
Peter Senge (1995) mengemukakan definisi organisasi belajar sebagai suatu disiplin untuk mengembangkan potensi kapabilitas individu dalam organisasi yang dikenal dengan The Fifth Dicipline yang telah diterjemahkan oleh Adiarni (1996) yang dikenal dengan Disiplin Kelima, sebagai berikut:


a.  Berpikir Sistem (Systems Thinking)
Setiap usaha manusia, termasuk bisnis, merupakan sistem karena senantiasa merupakan bagian dari jalinan tindakan atau peristiwa yang saling berhubungan, meskipun hubungan itu tidak selalu tampak. Oleh karena itu organisasi harus mampu melihat pola perubahan secara keseluruhan, dengan cara berpikir bahwa segala usaha manusia saling berkaitan, saling mempengaruhi dan membentuk sinergi.
b.  Penguasaan Pribadi (Personal Mastery)
Penguasaan pribadi ini merupakan suatu disiplin yang antara lain menunjukan kemampuan untuk senantiasa mengklarifikasi dan mendalami visi pribadi, memfokuskan enerji, mengembangkan kesabaran, dan memandang realitas secara obyektif. Kenyataan menunjukkan bahwa seseorang memasuki suatu organisasi dengan penuh semangat, tetapi setelah merasa “mapan” dalam organisasi itu lalu kehilangan semangatnya. Oleh karena itu, disiplin ini sangat penting artinya bahkan menjadi landasan untuk organisasi belajar.
c.   Pola Mental (Mental Models)
Setiap orang mempunyai pola mental tentang bagaimana ia memandang dunia di sekitarnya dan bertindak atas dasar asumsi atau generalisasi dari apa yang dilihatnya itu. Seringkali seseorang tidak menyadari pola mental yang mempengaruhi pikiran dan tindakannya tersebut. Oleh karena itu setiap orang perlu berpikir secara reflektif dan senantiasa memperbaiki gambaran internalnya mengenai dunia sekitarnya, dan atas dasar itu bertindak dan mengambil keputusan yang sesuai.
d. Visi Bersama (Shared Vision)
Organisasi yang berhasil berusaha mempersatukan orang-orang berdasarkan identitas yang sama dan perasaan senasib. Hal ini perlu dijabarkan dalam suatu visi yang dimiliki bersama. Visi bersama ini bukan sekedar rumusan keinginan suatu organisasi melainkan sesuatu yang merupakan keinginan bersama. Visi bersama adalah komitmen dan tekad dari semua orang dalam organisasi, bukan sekedar kepatuhan terhadap pimpinan.
e.  Belajar Beregu (Team Learning)
Dalam suatu regu atau tim telah terbukti bahwa regu dapat belajar dengan menampilkan hasil jauh lebih berarti daripada jumlah penampilan perorangan masing-masing anggotanya. Belajar beregu diawali dengan dialog yang memungkinkan regu itu menemukan jati dirinya. Dengan dialog ini berlangsung kegiatan belajar untuk memahami pola interaksi dan peran masing-masing anggota dalam regu. Belajar beregu merupakan unsur penting, karena regu bukan perorangan merupakan unit belajar utama dalam organisasi.
2.  Pentingnya Learning Organization
Yusufhadi Miarso (2002) mengemukakan beberapa alasan mengapa saat ini diperlukan organisasi belajar. Alasan tersebut antara lain:
a.  Dalam rangka pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, kita tidak lagi dapat mengandalkan pada tersedianya tenaga kerja yang banyak dan murah, melainkan tenaga kerja yang terdidik dengan baik, terlatih dengan baik dan menguasai informasi dengan baik (well educated, well trained, and well informed). Perubahan organisasi untuk menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan merupakan azas dari organisasi belajar.
b.  Pengembangan organisasi yang lebih berorientasi pada lingkungan internal dianggap tidak tepat lagi. Sejalan dengan gerakan masyarakat informasi (information society), maka organisasi perlu menguasai informasi mengenai lingkungan secara komrehensif. Organisasi memerlukan lebih banyak tenaga kerja berpengetahuan (knowledge worker). Perkembangan ekonomi lebih dilandaskan pada pengetahuan dengan tenaga kerja berpengetahuan sebagai aset paling utama.
C.   Personal Mastery
1.  Definisi Personal Mastery
Secara etimologi, Mastery berasal dari bahasa Inggris dan Latin yang berarti penguasaan atau keahlian dominasi terhadap sesuatu. Sedangkan dari bahasa Perancis, berasal dari kata Maitre yang berarti seseorang mempunyai keahlian khusus, cakap, dan ahli dalam sesuatu.
Menurut Peter Senge, personal mastery adalah sebuah disiplin yang terus menerus, memperjelas dan memperdalam penglihatan personal kita, memfokuskan energi kita, menyampaikan kesabaran dan melihat objek secara realistis. Sedangkan Fran Sayers Ph.D  mendefinisikan Penguasaan diri sebagai pengembangan diri seseorang yang prosesnya terus berkesinambungan, selalu mencari jalan untuk terus berkembang, hal baru untuk dipelajari, bertemu dengan orang baru, merupakan suatu jalan kehidupan yang menekankan pada perkembangan dan kepuasan dalam kehidupan personal dan professional.
Penguasaan diri adalah suatu cara yang berkesinambungan untuk menjernihkan dan memperdalam visi, energi, dan kesabaran seseorang (Michael J. Marquardt). Mastery tidak berarti mengontrol orang lain, maupun diri sendiri. Seiring berjalannya waktu yang dilakukan adalah menggabungkan berbagai variasi dan kadang-kadang konflik kepribadian seseorang (Leonard).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa penguasaan diri (personal mastery) adalah sebuah proses pembelajaran kehidupan seseorang, bukan sesuatu yang sudah dimiliki. Penguasaan diri itu tentang mencintai diri sendiri dan mengembangkan bakat yang dimiliki semaksimal mungkin. Beberapa orang berpikir bahwa penguasaan diri itu membatasi dan mengontrol diri sendiri, tetapi sesungguhnya hal ini mengenai pemahaman akan diri sendiri. Seseorang harus mengidentifikasi tentang bagaimana suatu kebiasaan muncul untuk mengontrol suatu kebiasaan tersebut.
2.  Prinsip-prinsip Personal Mastery
Prinsip-prinsip dari personal mastery adalah sebagai berikut:
a.  Visi Pribadi
Visi pribadi datang dari dalam. Bentuk yang lebih halur dari visi pribadi adalah memfokuskan pada cara bukan hasil. Kemampuan untuk memfokuskan pada keinginan intrinsikakhir, tidak hanya pada tujuan sekunder, adaah suatu batu pijakan dari keahlian pribadi. Visi sesungguhnya tidak dapat dipahami secara terpisah dari ide tujuan. Tujuan yang dimaksud adalah, sebagai kesadaran individual akan mengapa ia hidup. Tetapi visi berbeda dari tujuan. Tujuan serupa dengan arah, suatu gambaran masa depan yang diinginkan. Visi adalah suatu destinasi yang spesifik, suatu gambaran dari masa depan yang diinginkan. Tujuan adalah abstrak. Visi lebih konkrit.
b.  Menahan Tegangan Kreatif
Orang sering kali mengalami kesulitan besar dalam membicarakan visi mereka, bahkan ketika visinya jelas. Mengapa? Karena kita sadar secara tajam akan jurang antara visi dan realita. Jurang-jurang ini dapat membuat suatu visi tampak tidak realistikatau suatu impian. Hal tersebut dapat membuat keberanian kita surut atau membuat kita merasa tidak berdaya. Tetapi jurang antara visi dan realita saat ini juga merupakan suatu sumber energi. Bila tidak ada jurang, tentu tidak akan ada kebutuhan akan tindakan apapununtuk bergerak terhadap visi. Bahkan jurang adalah sumber dari energi kreatif. Jurang ini disebut sebagai tegangan kreatif. Prinsip dari tegangan kreatif adalah merupakan prinsip sentral dari keahlian pribadi, yang mengintegrasikan semua elemen disiplin tersebut.

c.   “Konflik Struktural” Kekuatan dari Ketidakberdayaan
Dengan adanya kepercayaan ketidakberdayaan atau ketidakberhargaan kita, konflik struktural mengimplikasikan kekuatan-kekuatan sistemik yang berperan untuk menjaga kita dari mencapai keberhasilan kapan pun kita mencari suatu visi. Rober Fritz telah mengidentifikasi tiga strategi generik untuk berhadapan dengan kekuatan-kekuatan dari konflik struktural, yang mana masing-masing memiliki keterbatasannya. membiarkan visi kita terkikis adalah satu dari strategi untuk menghadapinya. Yang kedua adalah “manipulasi konflik” dimana kita mencoba memanipulasi diri kita kedalam usaha yang lebih besar kearah apa yang kita inginkan dengan menciptakan konflik artifisial, seperti memfokuskan pada upaya menghindari apa yang tidak kita inginkan. Manipulasi konflik adalah strategi yang disenangi oleh orang-orang yang tiada putusnya mencemaskan mengenai kegagalan. Strategi yang ketiga adalah “kekuatan kemauan” dimana kita cukup mempengaruhi jiwa kita sendiri untuk menguasai semua bentuk perlawanan untuk mencapai tujuan kita.
d.    Komitmen terhadap Kebenaran
Melihat dan mengatakan kebenaran merupakan suatu unsur fundamental dari keahlian pribadi, dan unsur fundamental dari disiplin yang terkait dengan visi bersama. (Kebenaran, dalam hal ini, tidak berarti “kebenaran mutlak,” melainkan sekedar kebenaran seperti Anda lihat). “Karena ketegangan kreatif tergantung pada suatu pemahaman yang jernih tentang realitas saat ini, maka ketegangan kreatif itu segera hilang ketika orang-orang berbohong kepada diri mereka sendiri atau satu sama lain.
e.    Menggunakan Alam Bawah Sadar, atau Anda Sebenarnya Tidak Perlu Memikirkan Semuanya
Secara implisit dalam praktek dari keahlian pribadi adalah dimensi lain dari pikiran bawah sadar. Apa yang membedakan orang dengan keahlian pribadi tinggi adalah mereka telah membentuk hubungan baik yang lebih tinggi antara kesadaran normal mereka dengan bawah sadar mereka.
f.     Mengintegrasikan Penalaran dan Intuisi
Dengan mengintegrasikan antara penalaran dan intuisi kita dapat menemukan jalan keluar. Orang dengan keahlian pribadi tingkat tinggi tidak secara khusus menetukan untuk mengintegrasikan penalaran dan intuisi. Lebih dari itu, mereka mencapainya secara alamiah sebagai suatu hasil samping dari komitmen mereka untuk menggunakan semua sumber daya yang dapat mereka peroleh. Mereka tidak mmapu memilih antara penlaran atau intuisi, atau kepala dan hati, lebih daripada seperti apa yang mereka pilih untuk berjalan diatas satu kaki atau berjalan dengan satu mata.
g.    Melihat Keterikatan Kita dengan Dunia
Einstein mengekspresikan tantangan belajar ketika ia mengatakan: “manusia merasakan dirinya, pikiran, dan perasaanya sebagai sesuatu yang terpisah dari lainnya. Suatu jenis selusi optikal dari kesadaran kita. Delusi ini adalah sejenis tahanan bagi kita, yang membatasi kita pada keinginan-keingina pribadi dan pada afeksi bagi beberapa orang yang terdekat dengan kita. Tugas kita haruslah membebaskan diri kita sendiri dari penjara ini dengan memperluas lingkaran perasaan kita untuk merangkul semua makshluk hidup dan seluruh alam dan keindahannya”. Pengalaman dari meningkatkan keterkaitan yang digambarkan Einstein adalah salah satu dari aspek paling halus dari penguasaan pribadi.
h.    Perasaan
Kecenderungan spontan kita untuk mencari kesalahn dengan satu sama lainnya secara perlahn-lahan memudar, meninggalkan suatu rasa menghargai yang lebih dalam terhadap kekuatan dalam dimana kita semua beroperasi.
i.      Komitmen terhadap Keseluruhan
Komitmen yang tulus menurut Bill O’Brien adalah selalu terhadap sesuatu yang lebih besar daripada kita sendiri. Individu yang memiliki komitmen terhadap visi melampaui minat diri mereka, menemukan bahwa mereka memiliki energi tidak didapatkan ketika mengejar tujuan yang lebih sempit, sebagaimana organisasi yang menyaring komitmen ini “saya tidak percaya pernah ada seorang tunggal yang telah membuat suatu penemuan yang berharga atau invensi”.
3.  Manfaat Personal Mastery
Manfaat atau keuntungan bagi seseorang yang mempunyai tingkat penguasaan diri tinggi adalah:
a.  Kemampuan mengambil tanggung jawab.
b.  Kejelasan dan profesionalisme visi.
c.   Kohesive dan Team Work yang berlaku.
d.  Penurunan jumlah karyawan yang absen melalui peningkatan kesejahteraan karyawan.
e.  Mampu mengendalikan stress dan bersikap positif.
f.    Menciptakan petumbuhan organisasi yang tetap dan berjangka panjang.
g.  Pemenuhan tanggung jawab sosial.
h.  Kepemimpinan kreatif yang kuat.
i.    Meningkatkan kecerdasan emosi.
Dengan demikian terlihat jelas bahwa Personal Mastery tidak saja baik bagi diri sendiri namun juga mempengaruhi lingkungan kerja, lingkungan tempat tinggal dengan cara yang positif.
4.  Aspek Personal Mastery
Metavarsity Course, Personal Mastery disebutkan memiliki 4 aspek, yaitu:

a.  Aspek Emosional, yang terdiri atas:
1)  Memahami emosi diri sendiri dan akibatnya.
2)  Memahami orang lain dan emosi yang dialaminya.
3)  Berdaya secara emosional dan nyata.
4)  Menjadi vulnerable dan terbuka dengan suatu hubungan.
b.  Aspek Spiritual, yang terdiri atas:
1)  Terhubung dengan inner self.
2)  Mengapresiasi kehidupan, menyayangi orang lain.
3)  Bersatu dalam perbedaan dengan orang lain.
4)   Menciptakan dunia yang lebih baik untuk tempat hidup.
c.   Aspek Fisik, terdiri dari:
1)  Berada secara fisik dan dalam lingkungan.
2)   Memahami hubungan antara ‘mind-body’.
3)  Bertanggung jawab dan membuat keputusan positif.
4)  Memanage stress dan mencapai keseimbangan.
d.  Aspek Mental, terdiri atas:
1)  Memahami cara pikiran bekerja dan cara menciptakan realitas.
2)  Meningkatkan fokus mental dan konsentrasi.
3)  Menciptakan pikiran yang jernih dan inovatif.
4)  Menciptakan realitas yang diinginkan.
Dengan  menguasai 4 aspek yang telah dikemukakan, diharapkan seseorang dapat menggunakannya untuk mengatasi kebutaan yang dialami. Setelah mampu menguasai 4 aspek tersebut, dapat  dikatakan telah menguasai Personal Mastery. Seseorang yang telah menguasai Personal Mastery memiliki komitmen yang tinggi terhadap suatu hal, lebih sering mengambil insiatif, secara terus menerus mengembangkan kemampuannya untuk menciptakan hasil terbaik dalam kehidupan yang benar-benar diinginkan.


5.  Karakteristik Personal Mastery
Menurut Marty Jacobs (2007), seseorang yang memiliki Personal Mastery yang tinggi akan memiliki karakteristik sebagai berikut:
a.  Mempunyai sense khusus mengenai tujuan hidupnya.
b.  Mampu menilai realitas yang ada sekarang secara akurat.
c.   Terampil dalam mengelola tegangan kreatif untuk memotivasi diri dalam mencapai kemajuan kedepannya.
d.  Melihat perubahan sebagai suatu peluang.
e.  Memiliki rasa keingintahuan yang besar.
f.      Menempatkan prioritas yang tinggi terhadap hubungan personal tanpa menunjukkan rasa egois atau individualismenya.
g.  Pemikir sistemik, dimana seseorang melihat dirinya sebagai salah satu bagian dari sistem yang lebih besar.
6.  Dimensi Personal Mastery
Penerapan Personal Mastery dapat dilihat dari dua dimensi yang saling berkaitan. Dimensi dimana seseorang tersebut sebagai individu dan dimensi dimana personal tersebut menjadi bagian dari suatu kelompok (team). Sebagai individu, upaya pengendalian diri (Personal Mastery) dengan segala unsurnya akan dapat membentuk karakter personal, sedangkan perannya pada kelompok, Personal Mastery diperlukan untuk menjamin adanya pembelajaran organisasi (Learning Organization). Paduan karakter personal yang dimiliki oleh anggota team dalam suatu organisasi akan membuat dinamika dan menumbuhkan organisasi tersebut.
Dari interaksi ini munculnya benih-benih Leadership yang diharapkan akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang tangguh.  Peter Senge dalam Global Learning Service menjelaskan tujuh dimensi penguasaan diri yang harus dibudayakan untuk mendukung proses pengembangan mencapai Personal Mastery:
a.  Kesadaran Diri (Self-Awareness)
Self-awareness merupakan dasar untuk Personal Mastery dan efektivitas dalam berhubungan dengan orang lain. Self-awareness dapat dijadikan kunci sebagai pemegang kendali untuk pengembangan personal dan profesional.
b.  Ketajaman Perseptual (Perceptual Acuity)
Perceptual Acuity merupakan kemampuan dalam menafsirkan pesan yang diperoleh melalui persepsi, observasi, dan kemampuan mendengar.
c.   Penguasaan Emosional (Emotional Mastery)
Penguasaan emosi adalah bagaimana seseorang memahami emosi diri, mengenal emosi orang lain, dan kemampuannya untuk memanajemen emosi untuk menghargai orang lain. Goleman membagi lima kecerdasan emosi dalam buku “Emotional Intelligence”, yaitu:
1)  Kesadaran Diri
2)  Regulasi Diri (Self-Regulation)
3)  Motivasi Diri (Internal Motivation)
4)  Empati (Empathy)
5)  Kemampuan Sosial (Social Skills)
d.  Keterbukaan (Openness)
Organisasi tidak hanya dihuni oleh satu pemikiran. Seseorang bisa terbuka menerima pemikiran orang lain, serta bersedia untuk menggali ide baru dan pengalaman demi sebuah perkembangan.
e.  Fleksibilitas dan Adaptasi (Flexibility and Adaptability)
Perubahan dan/atau perkembangan dalam organisasi menuntut seseorang untuk mengikuti perubahan dan/atau perkembangan tersebut. Maka seseorang harus mempunyai sikap fleksibel dan pintar untuk beradaptasi, sehingga mampu memandang perubahan sebagai kesempatan baru.


f.    Otonomi (Autonomy)
Seseorang harus mampu mengendalikan hidup untuk mencapai pikiran jernih dan kecerdasan, sensitivitas tinggi, rasa estetika, tanggung jawab serta nilai spiritual. Seseorang yang autonomus mempunyai sikap Self-awareness tinggi, keingintahuan tinggi, dan lebih proaktif daripada reaktif.
g.  Akal dan Daya Kreatif (Creative Resourcefullness)
Seseorang harus kreatif dan inovatif serta selalu menemukan hal baru dalam melakukan sesuatu. Selalu terbuka akan ide-ide dan pengalaman baru serta fleksibel dan adaptasi.
7.  Strategi Pengembangan Personal Mastery
Banyak orang yang mengakui bahwa di antara semua disiplin pembelajaran, Personal Mastery lah yang paling menjadi perhatian. Tidak hanya meningkatkan kemampuan sendiri, namun juga meningkatkan kemampuan orang lain. Banyak orang mengakui bahwa organisasi berkembang seiring dan sejalan dengan para anggota. Beberapa orang mengetahui prinsip utama disiplin ini. Tidak seorang pun bisa meningkatkan Personal Mastery orang lain, namun hanya bisa menciptakan kondisi yang mendorong dan mendukung orang yang ingin meningkatkan Personal Mastery.
Setiap orang harus menawarkan dorongan semangat dan dukungan ini, karena pembelajaran tidak akan berlangsung lama kecuali dipicu oleh minat dan rasa ingin tahu yang besar dari orang itu sendiri. Walaupun pemicu tidak ada, orang akan patuh menerima pelatihan apa pun yang diberikan. Dampak dari latihan itu berlangsung sementara, namun tanpa komitmen orang yang dilatih akan berhenti menerapkan ketrampilan baru tersebut. Sebaliknya, jika pembelajaran dikaitkan dengan visi seseorang, maka orang itu akan berupaya keras mempertahankan agar pembelajaran dapat terus berlangsung. Namun, banyak perusahaan cenderung merintangi daripada mendorong motivasi intrinsik. Untuk mengembangkan Personal Mastery, bisa dilakukan dengan cara berikut ini:
a.    Memperbesar kemampuan pribadi (banyak melihat, banyak membaca, banyak mendengarkan, banyak berfikir dan lebih banyak menggunakan hati), (berbaik sangka, positif thinking, lateral thinking dan crazy thinking).
b.    Menciptakan hasil yang paling diinginkan
c.    Menciptakan lingkungan Organisasi yang memotivasi keberanian mengembangkan diri
d.    Menentukan dan mengarahkan tujuan-tujuan yang dipilih.
D.   Masalah/ Konflik Dalam Keluarga
Sekalipun dalam keluarga yang harmonis konflik di antara anggota keluarga tidak jarang terjadi, penyebabnya bisa bermacam-macam. Terkadang konflik yang terjadi dapat semakin menguatkan ikatan dalam keluarga, tetapi tak jarang juga yang berujung dengan permusuhan jangka panjang yang tak kunjung menemukan solusi untuk mengatasinya.
Kehidupan ini hendaknya senantiasa selalu diisi dengan kebahagiaan, namun jika pertikaian dalam keluarga tak dapat dihindarkan bersedialah untuk mengalah, kendalikan emosi Anda, berperan sertalah untuk menyelesaikannya, jangan biarkan berlarut-larut. Tidak semua orang mampu atau memiliki keahlian dalam menyelesaikan sebuah permasalahan.

1.  Merasa tidak dihargai

Ada kalanya kurangnya rasa kasih di dalam anggota keluarga membuat seseorang merasa tidak dihargai.

2.  Kecemburuan

Kemampuan tiap-tiap individu berbeda-beda dan hal ini dapat memunculkan kecemburuan di antara saudara. Memang akan sangat ironi sekali bila di dalam keluarga sampai muncul kecemburuan kepada anggota keluarga sendiri

3.  Masalah privasi

Disamping sebagai makhluk sosial manusia juga kadang memerlukan waktu bagi dirinya sendiri, dengan kata lain menjadi individu. Di dalam keluarga, terkadang kita juga memerlukan tempat-tempat tertentu untuk privasi kita seperti di kamar tidur. Konflik bisa terjadi bila privasi kita diganggu oleh orang lain, bahkan oleh saudara kita sendiri.

4.  Ekonomi

Keadaan ekonomi di dalam keluarga Anda hendaknya tidak menjadi jurang pemisah antar sesama saudara.

5.  Komunikasi yang tidak lancar

Komunikasi yang terjalin dengan baik di dalam sebuah keluarga adalah satu hal yang sangat penting untuk terciptanya keharmonisan, namun bila komunikasi antara suami dan istri atau orang tua dengan anak-anak tidak berjalan lancar, maka keluarga tersebut tidak akan bisa bertahan..

6.  Perbedaan agama

Tak jarang di dalam sebuah keluarga terdiri dari anggota keluarga yang memiliki keyakinan yang berbeda, perbedaan keyakinan tersebut mampu menjadi pemicu terjadinya sebuah konflik jika masing-masing orang tidak memiliki toleransi satu sama lain.
Konflik banyak terjadi anak dan orangtua khususnya pada masa remaja anak-ank dan orangtua. Sering terjadi konflik karena:
1.    Standar Perilaku
Remaja sering menganggap standar perilaku orang tua yang kuno dan yang modern  berbeda, dan standar perilaku orang tua yang kuno harus menyesuaikan dengan yang modern.
2.    Metode Disiplin
Remaja akan memberontak apabila metode disiplin yang  digunakan orang tua dianggap “tidak adil “ atau “kekanak-kanakan”.

3.    Hubungan Saudara Kandung
Remaja menganggap orang tua melakukan pilih kasih dengan saudara, sehingga perasaan membenci saudara muncul.
4.    Merasa Menjadi Korban
Remaja sering merasa benci kalau status sosial ekonomi keluarga  tidak memungkinkan mempunyai simbul-simbul status yang sama dengan yang dimiliki teman-teman, seperti pakaian, mobil, rumah dll.  tidak menyukai bila harus memikul tanggung jawab rumah tangga seperti; merawat adik-adik, atau bila orang tua tiri masuk kerumah dan mencoba “memerintah”. Hal seperti itu tidak  sukai dan hanya menambah ketegangan hubungan  dengan orang tua.
5.    Sikap Yang Sangat Kritis
Anggota keluarga tidak menyukai sikap  yang terlampau kritis terhadap diri mereka dan terhadap pola kehidupan keluarga pada umumnya
6.    Besarnya Keluarga
Dalam keluarga yang terdiri dari tiga atau empat anak lebih sering terjadi konflik dibandingkan dengan keluarga kecil
7.    Perilaku Yang Kurang Matang
Remaja membenci sikap orang tua yang sering menghukum bila  mengabaikan tugas-tugas sekolah, melalikan tanggung jawab, atau membelanjakan uang semaunya.
8.    Masalah Palang Pintu
Kehidupan sosial  sebagai remaja yang baru dan yang lebih aktif akan mengakibatkan pelangaran peraturan keluarga mengenai waktu pulang dan mengenai teman-teman dengan siapa  berhubungan.





III.   HASIL DAN PEMBAHASAN

A.   Kasus Konflik dalam Keluarga
Meninjau dari kehidupan keluarga peneliti, ditemukan beberapa kasus keluarga yang menjadi konflik berkepanjangan antara anggota keluarga yang lain. Keluarga terdiri dari keluarga besar yaitu bapak, ibu dan tujuh anak  (2 anak laki-laki tertua, dan 5 anak perempuan). Terjadi beberapa konflik yaitu sebagai berikut:
-     Kasus I
Seringkali orangtua membanding-bandingkan anak satu dengan yang lain. sehingga timbul kecemburuan dan rasa tidak percaya diri dari anggota keluarga.
-     Kasus II
     Terjadi pertengkaran besar antara anak laki-laki tertua dan kepala keluarga (bapak) karena kesalahan pekerjaan.
Dilihat dari sisi sikap dan perlakuan orang tua, masalah remaja-orang tua dapat timbul karena orang tua menggunakan pengalaman masa kecilnya sebagai patokan dan petunjuk menghadapi tingkah laku anak, padahal keduanya berada pada titik yang berbeda pada daur kehidupan mereka dalam lajur waktu yang panjang dan penuh perubahan sosial. Dapat dikatakan bahwa masalah-masalah yang dialami remaja sebagiannya timbul karena sikap dan perlakuan orang tua yang konservatif. Penyelesaian masalah remaja oleh karenanya memerlukan perubahan dari pihak orang tua serta dialog keduanya agar saling memahami benturan perbedaan yang terjadi. Meski demikian, jika bentuk masalah remaja-orang tua hanyalah perselisihan kecil sehari-hari, adalah normal dan berfungsi positif dalam perkembangan masa transisi menuju kemandirian.
Konflik keluarga diatas, menimbulkan banyak masalah di suatu organisasi kecil ini. Konflik diatas menimbulkan perasaan tidak percaya diri, kemarahan, kesedihan, tidak dihormati dan tidak dihargai dari para anggota keluarga. Tidak adanya “learning organization” dari konflik ini dapat memecah hubungan para komponen sistem. Melalui pendekatan learning organization dengan penguatan personal mastery pada anggota keluarga menjadi cara terbaik menghadapi konflik dalam keluarga.
B.   Implementasi Kepemimpinan
Dalam pelaksanaan kepemimpinan dalam keluarga sangat identik dengan keberadaan atau tindakan  ayah sebagai kepala keluarga. Dalam hal pengaturan hal-hal yang Banyaknya learning organization termasuk keluarga yang jelek, dilihat dari cara memanajemen, cara pekerjaan seseorang didesain, dan cara berpikir dan beinteraksi akan menciptakan dasar ketidakmampuan belajar. Ketidakmmapuan terus berlangsung meskipun upaya cemerlang berjalan, serta orang-orang yang komitmen, dan seringkali hasil pemecahan masalah jelek.
Beberapa hal yang menjadi penyebab hal ini adalah orang dalam organisasi memfokuskan hanya pada mereka, dan hanya sedikit yang peduli terhadap tanggung jawab ketika seluruh posisi berinteraksi. Misalnya ayah hanya fokus pada pekerjaannya, demikian juga dengan ibu dan anggota keluarga lainnya, tidak ada interaksi yang baik, sehingga ketika timbul kekecewaan,sangat sulit untuk mengetahui mengapa, sehingga asumsi yang muncul adalah orang lain adalah penyebab keacauan tanpa ada pemecahan masalah bersama. Masing-masing anggota cenderung untuk mencari kesalahan seseorang atau di luar kita yang bisa disalahkan atas sesuatu yang keliru.
Dalam penyelesaian masalah di keluarga, contohnya ketika seorang anak melakukan sesuatu tindakan yang salah dan membuat anggota keluarga lain merasa terganggu, sikap kepemimpinan seorang ayah seringkali tidak nampak, ayah sebagai pemimpin biasanya tidak dapat beradaptasi dalam keadaan tertekan sehingga bukan memecahkan masalah justru menambah masalah yang diakibatkan emosi yang tidak terkontrol dan kecenderungan yang terjadi adalah menyalahkan orang lain atas kekeliruan yang terjadi tanpa menyeleaikan masalah. Kontribusi terhadap penyelesaian masalah lebih bersifat emosional, bukan dari cara berpikir.
Penerapan humanistik dalam keluarga juga telah diterapkan oleh ayah sebagai pemimpin, dengan memperhitungkan harapan-harapan dan keterampilan anggota, sehingga sebagai pemimpin, ayah mampu mengarahkan anggotanya misalnya dalam pemilihan pendidikan. Namun untuk beberapa kasus, biasanya pemilihan pendidikan tidak dengan melihat harapan dan kemampuan anggota, namun berdasarkan ambisi ayah, sehingga dengan menggunakan otoritas yang dimiliki seringkali ayah memaksakan kehendaknya kepada anak untuk melanjutkan pendidikan sesuai keinginan ayah. Hal ini ternyata menimbulkan dampak yang negatif bagi anak, misalnya apabila keterampilan yang dimiliki seorang anak adalah seni, dan berdasarkan anggapan ayah tidak memiliki masa depan, sehingga ia memaksa anaknya untuk mengambil kuliah jurusan guru, atau kesehatan.
Tipe perilaku kepemimpinan yang belum sepenuhnya dipahami oleh pemimpin, dimana dalam suatu keputusan harus dijelaskan dan terbuka, namun realita yang terjadi adalah sifat kepemimpinan cenderung bersifat pasif, kekuasaan ada pada pemimpin. Adanya kecenderungan bagi seorang pemimpin yang merasa kehilangan kekuasaannya bila para anggota tidak lagi sepenuh hati melaksanakan segala kewajibannya. Hal ini seringkali terjadi apabila ayah sebagai seorang pemimpin atau mungkin ibu yang merasa tidak dihargai apabila anggota keluarga yang lain tidak melaksanakan tugas atau hal lain yang diperintahkan oleh ayah atau ibu, akibatnya sering terjadi kesalahpahaman bahkan menimbulkan pertengkaran yang berujung pada permasalahan baru dalam keluarga.
Ketika terjadi permasalahan dalam keluarga misalnya antar anggota yang satu dengan yang lain, dalam penyelesaiannya kita lebih melihat bahwa kita ada pada kondisi melihat kehidupan sebagai suatu seri dari peristiwa, dan setiap peristiwa terjadi karena ada satu penyebab yang jelas, sehingga kita cenderung mencari penyebabnya, tanpa melihat secara bijaksana hal yang lebih penting untuk dilakukan seperti mendamaikan anggota yang berselisih (Peter Senge 1996).
Ketidakmampuan belajar dan realita yang terjadi dalam keluarga telah terjadi dalam waktu yang lama, kita hidup dalam masa sekarang yang membahayakan, dan ketidakmampuan pembelajaran yang sama terjadi, bersama dengan konsekuensinya. Lima disiplin dari learning organization, diyakini bertindak sebagai penangkal terhadap ketidakmampuan belajar.
Beberapa hal yang menghambat personal vision  dalam keluarga adalah persepsi yang tertanam bahwa pria yang harus membuat keputusan dalam keluarga dan tugas wanita adalah mengandung dan membersarkan anak. Persepsi demikian merupakan mental models yang salah akibatnya angota keluarga tidak memiliki kebebasan atau personal vision bagi masa depannya. Proses pembelajaran organisasi dengan pendekatan personal mastery akan membantu anggota mengubah persepsi ini, lingkungan keluarga harus mampu membangun rasa percaya diri anggotanya terhadap kemampuan yang dimiliki.
C.   Penguatan Personal Mastery untuk Mengatasi Konflik dan Kepemimpinan dalam Keluarga
Praktik personal mastery dipusatkan pada pergeseran pandangan orang tentang hubungan mereka dengan dunia. Dalam istilah Robert Fritz, pergeseran tersebut berangkat dari sikap yang "reaktif" (merespons terhadap peristiwa), menjadi "kreatif" (menciptakan masa depan yang anda inginkan). Ketika orang-orang mempraktikkan personal mastery, mereka mulai masuk ke dalam orientasi ketiga: "saling tergantung," di mana mereka dan dunia saling berhubungan secara harmonis kata Charlotte Roberts . Pergeseran antar orientasi merupakan hal yang sangat penting, karena hal itu mempengaruhi aspek kemampuan seseorang untuk berpartisipasi dalam membangun organisasi pembelajaran.
Personal mastery mengajarkan agar kita tidak menurunkan visi kita, walaupun visi itu tampaknya tidak mungkin. personal mastery juga mengajarkan kepada kita bahwa isi visi itu sendiri tidaklah begitu penting. "Yang penting bukanlah isi visinya," kata Robert Fritz. "Namun apa yang dilakukan oleh visi tersebut." Ada banyak kisah tentang orang-orang yang mencapai keberhasilan luar biasa dengan visi yang luar biasa di mana hasil-hasil tersebut ternyata berbeda dengan maksud semula mereka.
Personal mastery juga mengajarkan kita untuk tidak menyerah dalam memandang dunia seperti apa adanya, sekalipun itu membuat kita merasa tidak nyaman. Melihat realitas saat ini dengan lebih seksama dan lebih jernih adalah salah satu pekerjaan yang paling sulit dari disiplin ini. Hal ini menuntut kemampuan untuk bertanya kepada diri anda sendiri, bukan saja dalam masa-masa tenang namun juga dalam masa-masa sulit, "Apa yang sedang terjadi saat ini? Mengapa kenyataan yang saya hadapi begitu sulit? Akhirnya, personal mastery mengajarkan kita untuk memilih. Memilih adalah tindakan yang berani: mengambil hasil dan tindakan yang akan menentukan nasib anda.
Anggota dalam keluarga menempatkan penekanan tertentu pada keinginan pribadi atau bisa dikatakan ambisi. Setelah hal yang menjadi visi terlaksana, ada perasaan akan tujuan yang menarik yang memaksa untuk menetapkan suatu visi yang baru. Dalam organisasi keluarga ada visi bersama misalnya menjadikan keluarga yang damai, sejahtera dan saling mengasihi. Visi bersama akan dibentuk dari visi pribadi. Kemampuan untuk mempunyai visi pribadi diekspresikan sebagai bentuk kepedulian yang tulus, sehingga bila orang benar-benar peduli secara tulus, mereka pasti memiliki komitmen untuk mewujudkan visi.
Hal ini merupakan hal yang penting mengapa keahlian pribadi harus menjadi suatu disiplin, karena merupakan proses yang secara terus menerus memfokuskan dan memfokuskan kembali pada apa yang benar-benar dinginkan oleh seseorang pada visi seseorang. Orang yang memiliki personal mastery akan terus menerus menguji visi pribadi dalam hidup dan mengadakan pilihan berdasarkan apa yang hendak dicapai.
Posisi yang benar dari visi (apa yang diinginkan) adalah sebaiknya suatu gambaran realita saat ini yang menghasilkan tegangan kreatif. Suatu gaya yang membawa mereka bersatu, karena kecenderungan alamiah dari tegangan untuk mencari pemecahan. Inti dari personal matery adalah bagaimana menghasilkan dan mempertahankan tegangan kreatif dalam hidup khususnya keluarga. Misalnya jika karet gelang di renggangkan, mempersentasikan tegangan antara visi dan realita yang mencari pemecahan atau pelepasan. Terdapat dua cara yang mungkin bagi kita untuk mengatasinya yang pertama menarik realita ke arah visi, atau menarik visi ke arah realita, yang tergantung dari apakah kita berpegang teguh pada visi. Hal ini sering terjadi dalam keluarga, misalnya orang tua menginginkan anaknya menjadi seperti orang tua nya dalam hal karir, namun kapabilitas anak yang tidak mampu. Sehingga timbul tegangan antara visi dan misi. Akibatnya muncul kecemasan dan stress, dan untuk mengatasai hal ini maka kita harus menurunkan visi dengan menembak sedikit lebih rendah dari visi yang di inginkan.
Untuk menerapkan disiplin personal mastery dalam keluarga maka orang harus hidup dalam suatu gaya belajar secara berkelanjutan. Suatu proses mengenai orang yang benar-benar matang karena membangun dan memegang nilai mendalam, membuat komitmen atas tujuan yang lebih besar, menjadi terbuka, menerapkan keinginan yang bebas. Pembelajaran dilakuan untuk memperoleh dan mengakumulasi pengetahuan dari pengalaman sehari-hari, dengan pengusaan diri dan menejemen waktu untuk mendahulukan yang penting dan urgent (Mattrik Stevhen Covey). Apabila personal mastery diterapkan dalam keluarga maka terbentuk organisasi keluarga yang memiliki komitmen terhadap penguasaan pribadi dengan memberikan lingkungan yang dapat mendorong visi pribadi, komitmen terhadap kebenaran, dan kemauan untuk menghadapi secara jujur jurang-jurang antara keduanya.
Sebagaimana Kita, dalam hidup berkeluarga pasti ada masalah ataupun konflik. Masalah/konflik itu pun mempunyai beberapa macam bentuk, diantaranya dapat berupa seperti puzzle, dimana kita tahu jawaban dari masalah tersebut, tapi Kita belum yakin karena sebab-sebabnya atau jawaban tersebut, belum spesifik, contohnya : pertengkaran ang terjadi antara istri dan suami, anak dan orangtua, anak yang selalu tidak mau menerima nasehat dan sebagainya. Jadi disini Kita bisa menerapkan sistem try and error dan belajar dari kesalahan tersebut.
Lalu masalah pun dapat berupa seperti dilema, dimana dalam menyelesaikan masalah kita ditemui pilihan yang sama-sama benar atau enak, tapi kita harus memilih salah satu diantara beberapa pilihan itu. Dan ada juga masalah yang berupa misteri, dimana permasalahan tersebut belum diketahui penyebabnya dan solusinya, contohnya penyakit yang tak kunjung sembuh, dan belum bisa menemukan obatnya. Menjadi penting dalam mengatasi konflik tersebut dengan kita menerapkan proses pembelajaran yang disebut learnig family.
Langkah pembelajaran pertama adalah mempunyai sasaran bersama yang terus diperjuangkan realisasinya. Sasaran bersama tersebut dapat berupa apapun sesuai dengan keadaan dan kesepakatan bersama. Contohnya, memiliki rumah, anak, kendaraan, tabungan masa depan, atau mempunyai usaha. Dan sifatnya pun bisa kita pilih sesuka kita, mau untuk jangka pendek, jangka menengah, atau jangka panjang.
Hal ini penting karena punya sasaran bersama adalah syarat penting dalam membentuk learning family. Bayangkan, kalau tidak punya sasaran bersama, maka batin akan kosong, keinginan untuk memperbaiki diri menjadi lebih baik pun akan berkurang, karena tidak memiliki sasaran bersama yang dapat diperjuangkan bersama-sama. Selain itu, sasaran bersama pun akan menjauhkan Kita dari kekosongan emosi dalam berkeluarga. Dan dengan mempunyai sasaran bersama ini pun menjadi dasar dalam membentuk team buliding dalam keluarga. Maka dalam teori learning, dikenal, share vision dan team buliding.
Langkah kedua adalah membentuk mental model dan mengubah mental model yang salah persepsi. Dimana saat Kita dihadapi masalah dengan berbagai macam bentuknya, disini bagaimana kita mampu mengembangkan kemampuan dalam menangani masalah dan memperbaiki penyikapan terhadap masalah. Hal tersebut dapat dilakukan, dengan mencoba tidak melihat suatu masalah sebagai tekanan, ancaman atau hal yang berat yang solusinya akhirnya menyalahkan pasangan atau anggota keluarga lainnya. Tapi coba pandang masalah sebagai suatu tantangan atau bagian dari tanggung jawab bersama.
Langkah pembelajaran yang ketiga adalah membuka pintu dialog. Menurut Danah Zohar dan Ian Marshall, dialog adalah instrumen untuk mencerahkan spiritual. Dalam keluarga, tradisi dialog ini penting. Dialog akan memecahkan kebuntuan, akan memperkaya dan mempositifkan perspektif. Dialog akan membuat kita sama-sama saling belajar. Kalau membaca tulisan Danah Zohar dan Ian Marshall (2004) atau tulisan Mark Gerzon (2006), ciri-ciri dialog itu antara lain:
1.  Kita beranggapan semua orang punya kebenaran atau punya sebagian kebenaran.
2.  Kita memposisikan orang lain sebagai mitra untuk menciptakan kesepahaman.
3.  Kita berbicara tentang bagaimana mengeksplorasi yang terbaik.
4.  Kita mendengarkan untuk memahami atau untuk mencapai kesepakatan.
5.  Kita menyatakan opini untuk dievaluasi atau disempurnakan.
6.  Kita melihat semua pihak (mempertimbangkan berbagai perspektif)
7.  Kita sadar bahwa masing-masing bisa saling melengkapi
8.  Kita berusaha menemukan kelebihan dari masing-masing
9.  Kita berusaha menemukan solusi, opsi, atau alternatif baru
Yang perlu kita lawan bersama adalah debat. Apalagi debat kusir. Selain bisa membuat rasa nikmat itu hilang, ini juga kerapkali tidak mendatangkan solusi.
Langkah pembelajaran keempat adalah sama-sama meningkatkan kemajuan dengan kelebihan dan kekurangan (personal mastery). Mengapa hal demikian penting? Pertama, kalau hanya kita saja yang bertambah ilmunya, sedangkan pasangan kita tidak, maka akan terjadi keadaan yang tidak seimbang, sehingga akan mempengaruhi komunikasi dan perspektif. Kedua, terkait dengan soal mentalitas (leadership atau ownership).
Dan terakhir adalah mengisi kegiatan keluarga dengan kegiatan keagamaan dan unsur religius. Religius disini pengerrtiannya lebih ke pencerahan bathin, kedekatan bathin pada hal-hal yang positif, benar, yang dapat bermanfaat bagi kebaikan. Hubungannya dengan learning family, adalah untuk menciptakan suasana kondusif dalam keluarga. Selain itu dapat menambah kenikmatan dalam menjalankan hidup berkeluarga. Karena Agama adalah nikmat penyempurna. Kalau kita sedang berkuasa, ekonomi makmur, dan sehat-sehat, tetapi tanpa agama, nikmatnya masih ada yang kurang. Lebih kurang lagi kalau sudah tidak makmur tanpa agama pula.
Dan dalam menjalankan learning family tidak bisa dijalankan hanya oleh satu anggota keluarga. Tapi learning family dapat berjalan jika setiap anggota keluarga mau menjalankannya.


IV.     PENUTUP

A.   SIMPULAN
Berdasarkan ulasan diatas dapat saya simpulkan bahwa :
1.  Keluarga adalah sekumpulan orang yang karena ikatan darah ataupun ikatan perkawinan yang saling berinteraksi dan menjalankan perannya masing-masing. Umumnya dalam suatu keluarga terdiri dari Bapak, Ibu, dan anak-anaknya ataupun anggota keluarga yang lainnya.
2.  Penguasaan diri (personal mastery) adalah sebuah proses pembelajaran kehidupan seseorang, bukan sesuatu yang sudah dimiliki. Penguasaan diri itu tentang mencintai diri sendiri dan mengembangkan bakat yang dimiliki semaksimal mungkin.
3.  Banyak masalah/konflik yang timbul dalam keluarga, maka untuk mengatasi hal tersebut dapat melalui pendekatan learning organization dengan penguatan personal mastery setiap anggota keluarga.
4.  Pertama, menentukan visi bersama misalnya menjadikan keluarga yang damai, sejahtera dan saling mengasihi. Visi bersama akan dibentuk dari visi pribadi. Kemampuan untuk mempunyai visi pribadi diekspresikan sebagai bentuk kepedulian yang tulus, sehingga bila orang benar-benar peduli secara tulus, mereka pasti memiliki komitmen untuk mewujudkan visi.
5.  Kedua, menghasilkan dan mempertahankan tegangan kreatif dalam hidup khususnya keluarga. Terdapat dua cara yang mungkin bagi kita untuk mengatasinya yang pertama menarik realita ke arah visi, atau menarik visi ke arah realita, yang tergantung dari apakah kita berpegang teguh pada visi.
6.  Menerapkan disiplin personal mastery dalam keluarga maka orang harus hidup dalam suatu gaya belajar secara berkelanjutan. Suatu proses mengenai orang yang benar-benar matang karena membangun dan memegang nilai mendalam, membuat komitmen atas tujuan yang lebih besar, menjadi terbuka, menerapkan keinginan yang bebas.
7.  Mengatasi masalah atau konflik dapat melalui kegiatan learning familiy dengan langkah-langkah: langkah pembelajaran pertama adalah mempunyai sasaran bersama yang terus diperjuangkan realisasinya. Langkah kedua adalah membentuk mental model dan mengubah mental model yang salah persepsi. Langkah pembelajaran yang ketiga adalah membuka pintu dialog. Langkah pembelajaran keempat adalah sama-sama meningkatkan kemajuan dengan kelebihan dan kekurangan (personal mastery). Dan terakhir adalah mengisi kegiatan keluarga dengan kegiatan keagamaan dan unsur religius.
B.   SARAN
1.  Harus ada proses pembelajaran dalam secara terus menerus untuk memiliki keahlian pribadi.
2.  Menciptakan lingkungan keluarga yang nyaman, saling percaya dan terbuka sehingga anggota keluarga lainnya memiliki rasa percaya diri terhadap kemampuan yang dimiliki, tidak berdasarkan paksaan dari kepala keluarga atau orang yang lebih tua.
3.  Harus terus menguji visi pribadi apa yang sebenarnya hendak dicapai.
4.  Melihat secara objektif visi pribadi dan membandingkan dengan realita yang terjadi, sehingga visi benar-benar nyata dan dapat di laksanakan.
5.  Seorang pemimpin harus bisa dan mampu menjadi model bagi anggota lainnya serta dalam menghadapi suatu masalah kepala keluarga menjadi hakim yang bijaksana dalam memberikan solusi dan memutuskan langkah selanjutnya.



DAFTAR PUSTAKA
AnekaKawan. (2010, Oktober 5). Dipetik Desember 8, 2015, dari Personal Mastery: http://karsuibalok2010.blogspot.co.id/2010/10/fenomena-changeling-sebuah-analisa.htm4l
Braham, B. (2009). Creating A Learning Organization. Jakarta: Gramedia.
Das, i. (2015, Juni 17). Dipetik Desember 8, 2015, dari Orangtua- Anak Remaja, perlakuan, Konflik dan kenakalan: http://www.kompasiana.com/konselor-irsyad.blogspot.com/orang-tua-anak-remaja-perlakuan-konflik-dan-kenakalan_54f91857a3331142038b4615
Kartono. (2003). Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta: PT Raja Gravindo.
Nasution, A. (2014, Februari 7). Dipetik Desember 8, 2015, dari Lima Prinsip Peter Sange: http://abdusima.blogspot.co.id/2014/02/lima-prinsip-peter-sange.html
Puspitawati, H. (2013). Dipetik Desember 8, 2015, dari Konsep dan Teori Keluarga: http://ikk.fema.ipb.ac.id/v2/images/karyailmiah/teori.pdf
Putri, S. (2012, April). Dipetik Desember 8, 2015, dari Membangun Learning Family: http://salsabilaprincess.blogspot.co.id/2012/04/membangun-learning-family.html
Rohman, O. (2011, Oktober 14). Dipetik Desember 8, 2015, dari Konflik Emosi Remaja dengan Orangtua: https://sulartiningsih.wordpress.com/2011/10/14/konflik-emosi-remaja-dengan-orang-tua/
Senge, P. (Disiplin Kelima Seni dan Praktek dari Organisasi Pembelajar). 1996. Jakarta: Binarupa Aksara.
Setiawan, A. C. (2012, April). Dipetik Desember 8, 2015, dari Konflik dalam Keluarga: Penyebab dan Cara Menyelesaikannya: http://keluarga.com/keluarga/konflik-dalam-keluarga-penyebab-dan-cara-menyelesaikannya
Sitinjak, E. V. (2010, Oktober 4). Saat Mata Terbuka. Dipetik Desember 8, 2015, dari Pemimpin dan Jiwa Pemimpin: http://saatmatakuterbuka.blogspot.co.id/2010/10/pemimpin-dan-jiwa-pemimpin-pemimpin.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROPOSAL HIDUPKU

PERBEDAAN DAN PERSAMAAN QUALITY ASSURANCE, TOTAL QUALITY MANAJEMEN AND CONTINOUS QUALITY IMPROVMENT

Konsep Pemasaran Rumah Sakit