LEARNING ORGANIZATION PADA ASPEK PERSONAL MASTERY


Pendekatan Learning
Organization pada Aspek Personal
Mastery
“Alternatif Penyelesaian Konflik dalam Lingkup Keluarga”
O L E H
FEBRIANY ANGRAENI PUTRI
P1806215023
KONSENTRASI MANAJEMEN RUMAH SAKIT
PRODI
KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR

I. PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Keluarga adalah unit
terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang
yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat dibawah suatu atap dalam keadaan
saling ketergantungan (Depkes RI,1998). Sebagai
suatu unit, keluarga dibedakan menjadi 2, yaitu Keluarga Kecil atau “Nuclear Family”atau keluarga inti
adalah unit keluarga yang terdiri dari suami, isteri, dan anak-anak mereka; dan
Keluarga Besar “Extended Family” yaitu didasarkan pada hubungan darah dari
sejumlah besar orang, yang meliputi orang tua, anak, kakek-nenek, paman, bibi,
kemenekan, dan seterusnya.
Benih akal penyusunan kematangan
individu dan struktur kepribadian terbentuk terbentuk dalam keluarga. Anak-anak
mengikuti orang tua dan berbagai kebiasaan dan perilaku, dengan demikian
keluarga adalah elemen pendidikan lain yang paling nyata, tepat dan amat besar.
Pengaruh dalam keluarga berdampak besar dalam pembentukan perilaku individu,
karena melalui keluarga anak-anak mendapat bahasa, nilai-nilai serta
kecenderungan yang akan terus terbentuk hingga usia dewasa bahkan mungkin
seumur hidup. Sebagai salah satu elemen pokok pembangunan entitas-entitas pendidikan,
keluarga diharapan menciptakan proses naturalisasi sosial, membentuk kepribadian-kepribadian
serta memberi berbagai kebiasaan yang baik pada anak-anak dan akan terus
bertahan lama.
Keluarga mempunyai komponen-komponen yang membentuk
keluarga itu. Komponen-komponen itu ialah anggota keluarga. Dengan setiap
anggota keluarga memiliki perannya masing-masing. Umumnya dalam suatu keluarga
“suami” atau “ayah” berperan sebagai kepala keluarga. Dengan kata lain “suami”
atau “ayah” ini adalah seorang pemimpin dari suatu organisasi kecil (sekumpulan
anggota keluarga).
Menurut Joseph Rist (1993), defisini kepemimpinan adalah
sebuah hubungan yang saling mempengaruhi di antara pemimpin dan pengikut yang
menginginkan perubahan nyata yang mencerminkan tujuan bersamanya. Arti
kepemimpinan itu berbeda dengan arti dari pemimpin. Pemimpin adalah orang yang
tugasnya memimpin, sedangkan kepemimpinan adalah suatu bakat atau
sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin.
Kepemimpinan membutuhkan penggunaan kemampuan secara aktif untuk
mempengaruhi pihak lain dan dalam mewujudkan tujuan organisasi atau lembaga
yang telah ditetapkan lebih dahulu. Sebuah kepemimpinan
melibatkan hubungan pengaruh yang mendalam, yang terjadi diantara orang-orang
yang menginginkan perubahan signifikan dan perubahan tersebut mencerminkan
tujuan yang dimiliki bersama oleh pemimpin dan pengikut. Pengaruh dalam hal ini
berarti hubungan di antara pemimpin dan pengikut sehingga bukan sesuatu yang
bersifat pasif, tetapi merupakan suatu hubungan timbal balik dan tanpa paksaan.
Dengan demikian kepemimpinan itu sendiri merupakan proses yang saling
mempengaruhi.
Orang yang terlibat dalam hubungan antara pemimpin dan
bawahan menginginkan sebuah perubahan sehingga pemimpin diharapkan mampu
menciptakan perubahan yang signifikan dalam organisasi dan bukan mempertahankan
status quo. Perubahan bukan sesuatu yang diinginkan pemimpin, tetapi lebih pada
tujuan yang diinginkan dan dimiliki bersama.
Ada 5 tipe kepemimpinan yaitu, Pertama tipe Otokratis (menganggap dialah yang paling benar dan dalam
menggerakkan bawahan melalui pendekatan (approach)
paksaan dan ancaman); Kedua adalah tipe Militeristis
(mempunyai sifat-sifat suka memerintah dan dalam menggerakkan bawahan sangat
suka menggunakan pangkat dan jabatannya);Ketiga tipe pemimpin Paternalistis (bersifat
fathernal atau kebapakan dengan menggunakan pendekatan yang dilakukan bersifat
sentimentil); Keempat tipe kepemimpinan Karismatis (mempunyai daya tarik yang
amat besar dan dikatakan bahwa pemimpin yang demikian diberkahi dengan kekuatan
gaib (supernatural powers); Kelima tipe kepemimpinan Demokratis (mendahulukan
kepentingan kelompok dibandingkan dengan kepentingan individu, senang menerima
saran, pendapat dan kritik, mentolerir bawahan yang membuat kesalahan dan
berikan pendidikan kepada bawahan agar jangan berbuat kesalahan dengan tidak
mengurangi daya kreativitas, inisyatif dan prakarsa dari bawahan Juga lebih
menitik beratkan kerjasama dalam mencapai tujuan.
Keluarga membentuk suatu organisasi yang bekerja secara
sistem. Dengan filosofi sistem yang apabila komponen pembentuk sistem tidak
berfungsi dengan baik akan dapat menganggu fungsi dari sistem itu sendiri. Keluarga
terdiri dari beberapa anggota keluarga yang memiliki kepribadian berbeda-beda
walaupun berhubungan karena ikatan darah tetap akan timbul konflik. Konflik
bisa menjadi sebuah media pembelajaran bagi suatu keluarga ketika disikapi
dengan tindakan yang tepat. Namum jika konflik dalam suatu keluarga dibiarkan
berlarut tanpa ada tindakan untuk diselesaikan maka akan menjadi jurang yang
dapat memecah hubungan kekerabatan sekalipun.
Ketika terjadi konflik, dibutuhkan suatu peran dari
kepala keluarga sebagai pemimpin mengarahkan anggota keluarga lain untuk
mencari titik penyebab masalah di organisasi kecilnya, memutuskan tindakan
terbaik sebagai jalan keluar masalah melalui diskusi. Itu ketika sistem
berjalan sesuai fungsinya. Namum ketika sistem dengan komponen sistem tidak
berfungsi sebagaimana mestinya bisa akibat dari keegoisan, kurang komunikasi,
ketidak terbukaan, dan banyak hal lainnya. Maka dibutuhkan suatu tindakan pembelajaran
bagi komponen sistem terutama pada pemimpin organisasi, agar organisasi dapat
bertahan dan bertumbuh kembang menjadi organisasi keluarga yang kuat.
Membangun keluarga itu tidak bisa belajar dari
hal yang benar karena belum terjadi. Karena seseorang yang memulai membentuk
suatu keluarga, akan belajar dari pengalaman yang nantinya akan mereka alami.
Dan belajar itu tidak selalu didapat dari hal yang benar. Terkadang Kita pun
belajar dari suatu kesalahan. Carl Jung berpendapat, bahwa pengetahuan itu
tidak selamanya bersumber pada tindakan yang benar tetapi bisa bersumber dari
tindakan yang salah. Maka dibutuhkan suatu proses pembelajaran dimana keluarga
yang anggotanya sadar akan proses learning (pembelajaran). Dan learning
(pembelajaran) itu sendiri adalah proses mengubah sesuatu agar bisa menjadi
lebih baik, dan dalam proses learning ini pun butuh suatu praktek, baik itu
praktek yang salah ataupun yang benar.
Maka melalui makalah ini akan diuraikan terkait
penyelesaian konflik/ kesalahan dalam keluarga melalui pendekatan learning organization dari aspek personal mastery para anggota keluarga.
B.
Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah menguraikan pendekatan learning organization pada aspek personal mastery sebagai alternatif
penyelesaian konflik dalam lingkup keluarga sehingga keluarga dapat menjadi
organisasi yang berkembang dan bertahan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A.
Keluarga
1. Pengertian Keluarga
Keluarga
adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung karena hubungan darah,
hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidup dalam satu rumah tangga,
berinteraksi satu sama lain dan didalam perannya masing-masing menciptakan
serta mempertahankan kebudayaan (Friedman, 2010).
Sedangkan
menurut Ali (2010), keluarga adalah dua atau lebih individu yang bergabung karena
hubungan darah, perkawinan dan adopsi dalam satu rumah tangga, yang
berinteraksi satu dengan lainnya dalam peran dan menciptakan serta
mempertahankan suatu budaya.
Dalam pengertian sosiologis, secara
umum keluarga dapat didefinisikan sebagai suatu kelompok dari orang-orang yang
disatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan, darah, atau adopsi, merupakan susunan
rumah tangga sendiri, berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain yang
menimbulkan peranan-peranan sosial bagi suami istri, ayah dan ibu, putra dan
putrinya, saudara laki-laki dan perempuan serta merupakan pemeliharaan
kebudayaan bersama.
Dapat saya simpulkan bahwa keluarga
adalah sekumpulan orang yang karena ikatan darah ataupun ikatan perkawinan yang
saling berinteraksi dan menjalankan perannya masing-masing. Umumnya dalam suatu
keluarga terdiri dari Bapak, Ibu, dan anak-anaknya ataupun anggota keluarga
yang lainnya.
2. Fungsi Keluarga
Berdasarkan
UU No.10 tahun 1992 PP No.21 tahun 1994 tertulis fungsi keluarga dalam delapan
bentuk yaitu :
a. Fungsi Keagamaan
1)
Membina
norma ajaran-ajaran agama sebagai dasar dan tujuan hidup seluruh anggota
keluarga.
2)
Menerjemahkan agama kedalam tingkah laku hidup sehari-hari
kepada seluruh anggota keluarga.
3)
Memberikan contoh konkrit dalam hidup sehari-hari dalam
pengamalan dari ajaran agama.
4)
Melengkapi dan menambah proses kegiatan belajar anak tentang
keagamaan yang kurang diperolehnya disekolah atau masyarakat.
5)
Membina rasa, sikap, dan praktek kehidupan keluarga beragama
sebagai pondasi menuju keluarga kecil bahagia sejahtera.
b.
Fungsi Budaya
1)
Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga untuk meneruskan
norma-norma dan budaya masyarakat dan bangsa yang ingin dipertahankan.
2)
Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga untuk menyaring
norma dan budaya asing yang tidak sesuai.
3)
Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga yang anggotanya
mencari pemecahan masalah dari berbagai pengaruh negatif globalisasi dunia.
4)
Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga yang anggotanya
dapat berpartisipasi berperilaku yang baik sesuai dengan norma bangsa Indonesia
dalam menghadapi tantangan globalisasi.
5)
Membina budaya keluarga yang sesuai, selaras dan seimbang
dengan budaya masyarakat atau bangsa untuk menjunjung terwujudnya norma
keluarga kecil bahagia sejahtera.
c.
Fungsi Cinta Kasih
1)
Menumbuhkembangkan potensi kasih sayang yang telah ada antar
anggota keluarga ke dalam simbol-simbol nyata secara optimal dan terus-menerus.
2)
Membina tingkah laku saling menyayangi baik antar keluarga
secara kuantitatif dan kualitatif.
3)
Membina praktek kecintaan terhadap kehidupan duniawi dan
ukhrowi dalam keluarga secara serasi, selaras dan seimbang.
4)
Membina rasa, sikap dan praktek hidup keluarga yang mampu
memberikan dan menerima kasih sayang sebagai pola hidup ideal menuju keluarga
kecil bahagia sejahtera.
d.
Fungsi Perlindungan
1) Memenuhi kebutuhan
rasa aman anggota keluarga baik dari rasa tidak aman yang timbul dari dalam
maupun dari luar keluarga.
2) Membina keamanan
keluarga baik fisik maupun psikis dari berbagai bentuk ancaman dan tantangan
yang datang dari luar.
3) Membina dan
menjadikan stabilitas dan keamanan keluarga sebagai modal menuju keluarga kecil
bahagia sejahtera.
e.
Fungsi Reproduksi
1) Membina kehidupan
keluarga sebagai wahana pendidikan reproduksi sehat baik bagi anggota keluarga
maupun bagi keluarga sekitarnya.
2) Memberikan contoh
pengamalan kaidah-kaidah pembentukan keluarga dalam hal usia, pendewasaan fisik
maupun mental.
3) Mengamalkan kaidah-kaidah
reproduksi sehat, baik yang berkaitan dengan waktu melahirkan, jarak antara dua
anak dan jumlah ideal anak yang diinginkan dalam keluarga.
4) Mengembangkan
kehidupan reproduksi sehat sebagai modal yang kondusif menuju keluarga kecil
bahagia sejahtera.
f.
Fungsi Sosialisasi
1) Menyadari,
merencanakan dan menciptakan lingkungan keluarga sebagai wahana pendidikan dan
sosialisasi anak pertama dan utama.
2) Menyadari,
merencanakan dan menciptakan kehidupan keluarga sebagai pusat tempat anak dapat
mencari pemecahan dari berbagai konflik dan permasalahan yang dijumpainya baik
di lingkungan seko lah maupun masyarakat.
3) Membina proses
pendidikan dan sosialisasi anak tentang hal-hal yang diperlukan untuk
meningkatkan kematangan dan kedewasaan (fisik dan mental), yang kurang
diberikan oleh lingkungan sekolah maupun masyarakat.
4) Membina proses
pendidikan dan sosialisasi yang terjadi dalam keluarga sehingga tidak saja
bermanfaat positif bagi anak, tetapi juga bagi orang tua, dalam rangka
perkembangan dan kematangan hidup bersama menuju keluarga kecil bahagia
sejahtera.
g.
Fungsi Ekonomi
1) Melakukan kegiatan
ekonomi baik di luar maupun di dalam lingkungan keluarga dalam rangka menopang
kelangsungan dan perkembangan kehidupan keluarga.
2) Mengelola ekonomi
keluarga sehingga terjadi keserasian, keselarasan dan keseimbangan antara
pemasukan dan pengeluaran keluarga.
3) Mengatur waktu
sehingga kegiatan orang tua di luar rumah dan perhatiannya terhadap anggota
keluarga berjalan secara serasi, selaras dan seimbang.
4) Membina kegiatan dan
hasil ekonomi keluarga sebagai modal untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia
dan sejahtera.
h.
Fungsi Pelestarian Lingkungan
1) Membina kesadaran,
sikap dan praktik pelestarian lingkungan internal keluarga.
2) Membina kesadaran,
sikap dan praktik pelestarian lingkungan eksternal keluarga.
3) Membina kesadaran,
sikap dan praktik pelestarian lingkungan yang serasi, selaras dan seimbang dan
antara lingkungan keluarga dengan lingkungan hidup masyarakat sekitarnya.
4) Membina
kesadaran, sikap dan praktik pelestarian lingkungan hidup sebagai pola hidup
keluarga menuju keluarga kecil bahagia sejahtera (Setiadi, 2008).
3. Orang
Tua
Menurut
Miami dalam Zaldy Munir (2010:2) dikemukakan bahwa “Orang tua adalah pria dan
wanita yang terikat dalam perkawinan dan siap sedia untuk memikul tanggung
jawab sebagai ayah dan ibu dari anak-anak yang dilahirkannya”. Sedangkan
menurut Widnaningsih dalam Indah Pertiwi (2010:15) menyatakan bahwa “orang tua
merupakan seorang atau dua orang ayah-ibu yang bertanggung jawab pada
keturunannya semenjak terbentuknya hasil pembuahan atau zigot baik berupa tubuh
maupun sifat-sifat moral dan spiritual”.
Berdasarkan
beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa orang tua mempunyai
tanggung jawab yang berat dalam memberikan bimbingan kepada anak-anaknya, tokoh
ayah dan ibu sebagai pengisi hati nurani yang pertama harus melakukan tugas
yang pertama adalah membentuk kepribadian anak dengan penuh tanggung jawab dalam
suasana kasih sayang antara orang tua dengan anak. Pada keluarga anak pertama
kali mengenal lingkungannya, kehidupan di luar dirinya. Sebagai makhluk sosial
ia menyesuaikan diri dengan kehidupan bersama, dan yang memperkenalkan semua
itu adalah orang tua, sehingga perkembangan anak ditentukan oleh situasi dan
kondisi yang ada serta pengalaman-pengalaman yang dimiliki oleh orang tuanya.
4. Macam-macam Peran Orang Tua
Menurut
BKKBN dijelaskan bahwa peran orang tua terdiri dari:
a. Peran sebagai pendidik
Orang tua perlu menanamkan
kepada anak-anak arti penting dari pendidikan dan ilmu pengetahuan yang mereka
dapatkan dari sekolah. Selain itu nilai-nilai agama dan moral, terutama nilai
kejujuran perlu ditanamkan kepada anaknya sejak dini sebagi bekal dan benteng
untuk menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi.
b. Peran sebagai pendorong
Sebagai anak yang sedang
menghadapi masa peralihan, anak membutuhkan dorongan orang tua untuk
menumbuhkan keberanian dan rasa percaya diri dalam menghadapi masalah.
c.
Peran
sebagai panutan
Orang tua perlu memberikan
contoh dan teladan bagi anak, baik dalam berkata jujur maupun ataupun dalam
menjalankan kehidupan sehari-hari dan bermasyarakat.
d. Peran sebagai teman
Menghadapi anak yang
sedang menghadapi masa peralihan. Orang tua perlu lebih sabar dan mengerti
tentang perubahan anak. Orang tua dapat menjadi informasi, teman bicara atau
teman bertukar pikiran tentang kesulitan atau masalah anak, sehingga anak
merasa nyaman dan terlindungi.
e. Peran sebagai pengawas
Kewajiban orang tua adalah
melihat dan mengawasi sikap dan perilaku anak agar tidak keluar jauh dari jati
dirinya, terutama dari pengaruh lingkungan baik dari lungkungan keluarga,
sekolah, maupun lingkungan masyarakat.
f.
Peran
sebagai konselor
Orang
tua dapat memberikan gambaran dan pertimbangan nilai positif dan negatif
sehingga anak mampu mengambil keputusan yang terbaik.
Berbagai
peranan yang terdapat di dalam keluarga dikemukakan oleh Slameto (1983:23)
adalah sebagai berikut :
a. Peranan
Ayah: Ayah sebagai
suami dari istri dan anak-anak, berperan sebagai pencari nafkah, pendidik,
pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari
kelompok sosialnya serta sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai
anggota masyarakat dari lingkungannya.
b. Peranan
Ibu: Sebagai istri
dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga,
sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu
kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari
lingkungannya, disamping itu juga ibu dapat berperan sebagai pencari nafkah
tambahan dalam keluarganya.
c.
Peran Anak: Anak-anak melaksanakan peranan
psikosial sesuai dengan tingkat perkembangannya baik fisik, mental, sosial, dan
spiritual.
Melalui
lingkungan kelurga anak mengalami proses sosialisasi awal. Orang tua biasanya
mencurahkan perhatiannya untuk mendidik anak, agar anak tersebut memperoleh
dasar dan pola pergaulan hidup yang benar dan baik, melalui penanaman disiplin
dan kebebasan serta penyerasiannya. Pada saat ini orang tua dan anggota
keluarga lainnya melakukan sosialisasi melalui kasih sayang, atas dasar kasih
sayang itu dididik untuk mengenal nilai-nilai tertentu, seperti nilai
ketertiban, nilai ketentraman dan nilai yang lainnya.
B.
Learning
Organization
1. Definisi Learning Organization
Learning Organization adalah suatu konsep yang berawal dari fenomena yang terjadi yaitu
individu dan organisasi mengalami masalah persaingan. Sehingga bagaimana
individu dalam organisasi tersebut dapat mempertahankan bahkan meningkatkan
kemampuannnya dalam persaingan tersebut. Bagaimana organisasi dianggap mampu
untuk terus menerus melakukan proses pembelajaran mandiri (self learning) sehingga organisasi tersebut memiliki ‘kecepatan
berpikir dan bertindak’ dalam merespon beragam perubahan yang muncul.
Peter M. Senge menjelaskan tentang learning organization adalah:
“this then, is the basic
meaning of a “learning organization” – an organization that is continually
expanding its capacity to create its future. For such an organization, it is
not enaugh merely to survive. “Survival learning” or what is more often termed
“adaptive learning” is important – indeed it is necessary. But for a learning,
“adaptive learning” must be joined by “generative learning”, learning that
enhances our capacity to create”.
Tugas dari organisasi belajar (learning organization):
a.
Meningkatkan kapasitas sejawat.
b.
Membangun kemampuan kolektif
untuk memahami sistem.
c.
Menghilangkan permainan lama di
tempat kerja.
d.
Teori dan pemahaman mendasar
tentang dunia yang dikaji dan dikuasai agar bisa dipraktekkan.
e.
Didasarkan atas lima disiplin
belajar.
f.
Menjadikan pembelajar seumur hidup pada jalur yang tidak berujung:
paham akan “hakekat” institusi pembelajar
Senge mencatat tujuh penyakit yang menghambat pembelajaran (learning disabilities) yaitu:
a. I am my position : kebiasaan melihat masalah dari sudut kepentingan sendiri
ketimbang keseluruhan kepentingan didalam satu sistem. Semua boleh berubah,
kecuali posisiku. Perilaku melihat masalah dari sudut pandang sendiri; tidak
melihat kepentingan menyeluruh yang lebih besar.
b. The enemy is out there: kebiasaan melihat kesalahan pada pihak lain, diluar diri
sendiri, sebagai “kambing hitam”.
c.
The illusion of taking charge:
kebiasaan sibuk bekerja tanpa mencari akar sebab dari masalah untuk memecahkan
pada skala yang lebih luas.
d. The fixation on events: kebiasaan melihat masalah pada peristiwa masa kini saja,
ketimbang pada sebabnya yang berada jauh di belakang, dan dampaknya ke masa
depan yang panjang.
e. The parable of the boiled
frog: kebiasaan menyesuaikan diri dengan sebab-sebab masalah yang
kecil hingga sebab-sebab tersebut menumpuk, membesar, dan melumpuhkan kemampuan
diri untuk mengatasinya.
f.
The delusion of learning
from experience: kebiasaan untuk hanya belajar
dari pengalaman sendiri, bukan dari pengalaman pihak yang terkena dampak
sesuatu keputusan.
g. The myth oh the management
team: kebiasaan membentuk kelompok kerja untuk menangani sesuatu
masalah dimana para anggotanya secara sempit hanya memperhatikan kepentingan
diri dan satuan organisasinya, bukan kepentingan keseluruhan organisasi yang
menjangkau jauh kemasa depan.
Peter
Senge (1995) mengemukakan definisi organisasi belajar sebagai suatu disiplin
untuk mengembangkan potensi kapabilitas individu dalam organisasi yang dikenal
dengan The Fifth Dicipline yang
telah diterjemahkan oleh Adiarni (1996) yang dikenal dengan Disiplin Kelima,
sebagai berikut:
a. Berpikir Sistem (Systems Thinking)
Setiap usaha manusia,
termasuk bisnis, merupakan sistem karena senantiasa merupakan bagian dari
jalinan tindakan atau peristiwa yang saling berhubungan, meskipun hubungan itu
tidak selalu tampak. Oleh karena itu organisasi harus mampu melihat pola perubahan
secara keseluruhan, dengan cara berpikir bahwa segala usaha manusia saling
berkaitan, saling mempengaruhi dan membentuk sinergi.
b. Penguasaan Pribadi (Personal Mastery)
Penguasaan pribadi
ini merupakan suatu disiplin yang antara lain menunjukan kemampuan untuk
senantiasa mengklarifikasi dan mendalami visi pribadi, memfokuskan enerji,
mengembangkan kesabaran, dan memandang realitas secara obyektif. Kenyataan
menunjukkan bahwa seseorang memasuki suatu organisasi dengan penuh semangat,
tetapi setelah merasa “mapan” dalam organisasi itu lalu kehilangan semangatnya.
Oleh karena itu, disiplin ini sangat penting artinya bahkan menjadi landasan
untuk organisasi belajar.
c.
Pola Mental (Mental
Models)
Setiap orang
mempunyai pola mental tentang bagaimana ia memandang dunia di sekitarnya dan
bertindak atas dasar asumsi atau generalisasi dari apa yang dilihatnya itu.
Seringkali seseorang tidak menyadari pola mental yang mempengaruhi pikiran dan
tindakannya tersebut. Oleh karena itu setiap orang perlu berpikir secara reflektif
dan senantiasa memperbaiki gambaran internalnya mengenai dunia sekitarnya, dan
atas dasar itu bertindak dan mengambil keputusan yang sesuai.
d. Visi Bersama (Shared
Vision)
Organisasi yang
berhasil berusaha mempersatukan orang-orang berdasarkan identitas yang sama dan
perasaan senasib. Hal ini perlu dijabarkan dalam suatu visi yang dimiliki
bersama. Visi bersama ini bukan sekedar rumusan keinginan suatu organisasi
melainkan sesuatu yang merupakan keinginan bersama. Visi bersama adalah
komitmen dan tekad dari semua orang dalam organisasi, bukan sekedar kepatuhan
terhadap pimpinan.
e. Belajar
Beregu
(Team Learning)
Dalam suatu regu atau
tim telah terbukti bahwa regu dapat belajar dengan menampilkan hasil jauh lebih
berarti daripada jumlah penampilan perorangan masing-masing anggotanya. Belajar
beregu diawali dengan dialog yang memungkinkan regu itu menemukan jati dirinya.
Dengan dialog ini berlangsung kegiatan belajar untuk memahami pola interaksi
dan peran masing-masing anggota dalam regu. Belajar beregu merupakan unsur
penting, karena regu bukan perorangan merupakan
unit belajar utama dalam organisasi.
2. Pentingnya Learning Organization
Yusufhadi
Miarso (2002) mengemukakan beberapa alasan mengapa saat ini diperlukan
organisasi belajar. Alasan tersebut antara lain:
a. Dalam rangka pembangunan ekonomi
yang berkelanjutan, kita tidak lagi dapat mengandalkan pada tersedianya tenaga
kerja yang banyak dan murah, melainkan tenaga kerja yang terdidik dengan baik,
terlatih dengan baik dan menguasai informasi dengan baik (well educated,
well trained, and well informed). Perubahan organisasi untuk menyesuaikan
diri dengan perubahan lingkungan merupakan azas dari organisasi belajar.
b. Pengembangan organisasi yang lebih
berorientasi pada lingkungan internal dianggap tidak tepat lagi. Sejalan dengan
gerakan masyarakat informasi (information society), maka organisasi
perlu menguasai informasi mengenai lingkungan secara komrehensif. Organisasi
memerlukan lebih banyak tenaga kerja berpengetahuan (knowledge worker).
Perkembangan ekonomi lebih dilandaskan pada pengetahuan dengan tenaga kerja
berpengetahuan sebagai aset paling utama.
C.
Personal
Mastery
1. Definisi Personal Mastery
Secara etimologi, Mastery berasal dari bahasa
Inggris dan Latin yang berarti penguasaan atau keahlian dominasi terhadap
sesuatu. Sedangkan dari bahasa Perancis, berasal dari kata Maitre yang
berarti seseorang mempunyai keahlian khusus, cakap, dan ahli dalam sesuatu.
Menurut Peter Senge, personal mastery adalah sebuah disiplin yang terus menerus, memperjelas
dan memperdalam penglihatan personal kita, memfokuskan energi kita,
menyampaikan kesabaran dan melihat objek secara realistis. Sedangkan Fran
Sayers Ph.D mendefinisikan Penguasaan
diri sebagai pengembangan diri seseorang yang prosesnya terus berkesinambungan,
selalu mencari jalan untuk terus berkembang, hal baru untuk dipelajari, bertemu
dengan orang baru, merupakan suatu jalan kehidupan yang menekankan pada perkembangan
dan kepuasan dalam kehidupan personal dan professional.
Penguasaan diri adalah suatu
cara yang berkesinambungan untuk menjernihkan dan memperdalam visi, energi, dan
kesabaran seseorang (Michael J. Marquardt). Mastery tidak
berarti mengontrol orang lain, maupun diri sendiri. Seiring berjalannya waktu
yang dilakukan adalah menggabungkan berbagai variasi dan kadang-kadang
konflik kepribadian seseorang (Leonard).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat
diambil kesimpulan bahwa penguasaan diri (personal
mastery) adalah sebuah proses pembelajaran kehidupan seseorang, bukan
sesuatu yang sudah dimiliki. Penguasaan diri itu tentang mencintai diri sendiri
dan mengembangkan bakat yang dimiliki semaksimal mungkin. Beberapa orang
berpikir bahwa penguasaan diri itu membatasi dan mengontrol diri sendiri,
tetapi sesungguhnya hal ini mengenai pemahaman akan diri sendiri. Seseorang
harus mengidentifikasi tentang bagaimana suatu kebiasaan muncul untuk
mengontrol suatu kebiasaan tersebut.
2. Prinsip-prinsip Personal Mastery
Prinsip-prinsip dari personal
mastery adalah sebagai berikut:
a.
Visi Pribadi
Visi pribadi datang dari dalam. Bentuk yang lebih halur dari visi
pribadi adalah memfokuskan pada cara bukan hasil. Kemampuan untuk memfokuskan pada keinginan intrinsikakhir, tidak hanya
pada tujuan sekunder, adaah suatu batu pijakan dari keahlian pribadi. Visi
sesungguhnya tidak dapat dipahami secara terpisah dari ide tujuan. Tujuan yang
dimaksud adalah, sebagai kesadaran individual akan mengapa ia hidup. Tetapi
visi berbeda dari tujuan. Tujuan serupa dengan arah, suatu gambaran masa depan
yang diinginkan. Visi adalah suatu destinasi yang spesifik, suatu gambaran dari
masa depan yang diinginkan. Tujuan adalah abstrak. Visi lebih konkrit.
b.
Menahan Tegangan Kreatif
Orang sering kali mengalami kesulitan besar dalam membicarakan
visi mereka, bahkan ketika visinya jelas. Mengapa? Karena kita sadar secara
tajam akan jurang antara visi dan realita. Jurang-jurang ini dapat membuat
suatu visi tampak tidak realistikatau suatu impian. Hal tersebut dapat membuat
keberanian kita surut atau membuat kita merasa tidak berdaya. Tetapi jurang
antara visi dan realita saat ini juga merupakan suatu sumber energi. Bila tidak
ada jurang, tentu tidak akan ada kebutuhan akan tindakan apapununtuk bergerak
terhadap visi. Bahkan jurang adalah sumber dari energi kreatif. Jurang ini
disebut sebagai tegangan kreatif.
Prinsip dari tegangan kreatif adalah merupakan prinsip sentral dari keahlian
pribadi, yang mengintegrasikan semua elemen disiplin tersebut.
c. “Konflik Struktural” Kekuatan dari Ketidakberdayaan
Dengan adanya kepercayaan ketidakberdayaan atau ketidakberhargaan
kita, konflik struktural mengimplikasikan kekuatan-kekuatan sistemik yang
berperan untuk menjaga kita dari mencapai keberhasilan kapan pun kita mencari
suatu visi. Rober Fritz telah mengidentifikasi tiga strategi generik untuk
berhadapan dengan kekuatan-kekuatan dari konflik struktural, yang mana
masing-masing memiliki keterbatasannya. membiarkan visi kita terkikis adalah
satu dari strategi untuk menghadapinya. Yang kedua adalah “manipulasi konflik”
dimana kita mencoba memanipulasi diri kita kedalam usaha yang lebih besar
kearah apa yang kita inginkan dengan menciptakan konflik artifisial, seperti
memfokuskan pada upaya menghindari apa yang tidak kita inginkan. Manipulasi
konflik adalah strategi yang disenangi oleh orang-orang yang tiada putusnya
mencemaskan mengenai kegagalan. Strategi yang ketiga adalah “kekuatan kemauan”
dimana kita cukup mempengaruhi jiwa kita sendiri untuk menguasai semua bentuk
perlawanan untuk mencapai tujuan kita.
d.
Komitmen terhadap Kebenaran
Melihat dan mengatakan kebenaran merupakan suatu unsur fundamental
dari keahlian pribadi, dan unsur fundamental dari disiplin yang terkait dengan
visi bersama. (Kebenaran, dalam hal ini, tidak berarti “kebenaran mutlak,”
melainkan sekedar kebenaran seperti Anda lihat). “Karena ketegangan kreatif
tergantung pada suatu pemahaman yang jernih tentang realitas saat ini, maka
ketegangan kreatif itu segera hilang ketika orang-orang berbohong kepada diri
mereka sendiri atau satu sama lain.
e.
Menggunakan Alam Bawah Sadar,
atau Anda Sebenarnya Tidak Perlu Memikirkan Semuanya
Secara implisit dalam praktek dari keahlian pribadi adalah dimensi
lain dari pikiran bawah sadar. Apa yang membedakan orang dengan keahlian
pribadi tinggi adalah mereka telah membentuk hubungan baik yang lebih tinggi
antara kesadaran normal mereka dengan bawah sadar mereka.
f.
Mengintegrasikan Penalaran dan
Intuisi
Dengan mengintegrasikan antara penalaran dan intuisi kita dapat
menemukan jalan keluar. Orang dengan keahlian pribadi tingkat tinggi tidak
secara khusus menetukan untuk mengintegrasikan penalaran dan intuisi. Lebih
dari itu, mereka mencapainya secara alamiah sebagai suatu hasil samping dari
komitmen mereka untuk menggunakan semua sumber daya yang dapat mereka peroleh.
Mereka tidak mmapu memilih antara penlaran atau intuisi, atau kepala dan hati,
lebih daripada seperti apa yang mereka pilih untuk berjalan diatas satu kaki
atau berjalan dengan satu mata.
g.
Melihat Keterikatan Kita dengan
Dunia
Einstein mengekspresikan tantangan belajar ketika ia mengatakan:
“manusia merasakan dirinya, pikiran, dan perasaanya sebagai sesuatu yang
terpisah dari lainnya. Suatu jenis selusi optikal dari kesadaran kita. Delusi
ini adalah sejenis tahanan bagi kita, yang membatasi kita pada
keinginan-keingina pribadi dan pada afeksi bagi beberapa orang yang terdekat
dengan kita. Tugas kita haruslah membebaskan diri kita sendiri dari penjara ini
dengan memperluas lingkaran perasaan kita untuk merangkul semua makshluk hidup
dan seluruh alam dan keindahannya”. Pengalaman dari meningkatkan keterkaitan
yang digambarkan Einstein adalah salah satu dari aspek paling halus dari
penguasaan pribadi.
h.
Perasaan
Kecenderungan spontan kita untuk mencari kesalahn dengan satu sama
lainnya secara perlahn-lahan memudar, meninggalkan suatu rasa menghargai yang
lebih dalam terhadap kekuatan dalam dimana kita semua beroperasi.
i.
Komitmen terhadap Keseluruhan
Komitmen yang tulus menurut Bill O’Brien adalah selalu terhadap
sesuatu yang lebih besar daripada kita sendiri. Individu yang memiliki komitmen
terhadap visi melampaui minat diri mereka, menemukan bahwa mereka memiliki
energi tidak didapatkan ketika mengejar tujuan yang lebih sempit, sebagaimana
organisasi yang menyaring komitmen ini “saya tidak percaya pernah ada seorang
tunggal yang telah membuat suatu penemuan yang berharga atau invensi”.
3. Manfaat Personal Mastery
Manfaat atau keuntungan bagi seseorang yang mempunyai
tingkat penguasaan diri tinggi adalah:
a. Kemampuan
mengambil tanggung jawab.
b. Kejelasan
dan profesionalisme visi.
c. Kohesive
dan
Team Work yang berlaku.
d. Penurunan
jumlah karyawan yang absen melalui peningkatan kesejahteraan karyawan.
e. Mampu
mengendalikan stress dan bersikap positif.
f. Menciptakan
petumbuhan organisasi yang tetap dan berjangka panjang.
g. Pemenuhan
tanggung jawab sosial.
h. Kepemimpinan
kreatif yang kuat.
i. Meningkatkan
kecerdasan emosi.
Dengan demikian
terlihat jelas bahwa Personal Mastery
tidak saja baik bagi diri sendiri namun juga mempengaruhi lingkungan kerja,
lingkungan tempat tinggal dengan cara yang positif.
4. Aspek Personal Mastery
Metavarsity
Course, Personal Mastery disebutkan
memiliki 4 aspek, yaitu:
a. Aspek Emosional, yang terdiri atas:
1) Memahami emosi diri sendiri dan
akibatnya.
2) Memahami orang lain dan emosi yang
dialaminya.
3) Berdaya secara emosional dan nyata.
4) Menjadi vulnerable dan terbuka dengan suatu hubungan.
b. Aspek Spiritual, yang terdiri atas:
1) Terhubung dengan inner self.
2) Mengapresiasi kehidupan, menyayangi
orang lain.
3) Bersatu dalam perbedaan dengan orang
lain.
4) Menciptakan dunia yang lebih baik untuk tempat
hidup.
c. Aspek Fisik, terdiri dari:
1) Berada secara fisik dan dalam
lingkungan.
2) Memahami hubungan antara ‘mind-body’.
3) Bertanggung jawab dan membuat
keputusan positif.
4) Memanage stress dan mencapai
keseimbangan.
d. Aspek
Mental, terdiri atas:
1) Memahami
cara pikiran bekerja dan cara menciptakan realitas.
2) Meningkatkan
fokus mental dan konsentrasi.
3) Menciptakan
pikiran yang jernih dan inovatif.
4) Menciptakan
realitas yang diinginkan.
Dengan
menguasai 4 aspek yang telah dikemukakan, diharapkan seseorang dapat
menggunakannya untuk mengatasi kebutaan yang dialami. Setelah mampu menguasai 4
aspek tersebut, dapat dikatakan telah menguasai Personal Mastery. Seseorang yang telah menguasai Personal Mastery memiliki komitmen yang
tinggi terhadap suatu hal, lebih sering mengambil insiatif, secara terus
menerus mengembangkan kemampuannya untuk menciptakan hasil terbaik dalam
kehidupan yang benar-benar diinginkan.
5. Karakteristik Personal Mastery
Menurut
Marty Jacobs (2007), seseorang yang memiliki Personal Mastery yang
tinggi akan memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Mempunyai sense khusus mengenai
tujuan hidupnya.
b. Mampu menilai realitas yang ada
sekarang secara akurat.
c.
Terampil
dalam mengelola tegangan kreatif untuk memotivasi diri dalam mencapai kemajuan
kedepannya.
d. Melihat perubahan sebagai suatu
peluang.
e. Memiliki rasa keingintahuan yang
besar.
f.
Menempatkan prioritas yang tinggi terhadap
hubungan personal tanpa menunjukkan rasa egois atau individualismenya.
g. Pemikir sistemik, dimana seseorang
melihat dirinya sebagai salah satu bagian dari sistem yang lebih besar.
6. Dimensi Personal Mastery
Penerapan
Personal Mastery dapat dilihat dari
dua dimensi yang saling berkaitan. Dimensi dimana seseorang tersebut sebagai
individu dan dimensi dimana personal tersebut menjadi bagian dari suatu
kelompok (team). Sebagai individu,
upaya pengendalian diri (Personal Mastery)
dengan segala unsurnya akan dapat membentuk karakter personal, sedangkan
perannya pada kelompok, Personal Mastery
diperlukan untuk menjamin adanya pembelajaran organisasi (Learning Organization). Paduan karakter personal yang dimiliki oleh
anggota team dalam suatu organisasi akan membuat dinamika dan menumbuhkan
organisasi tersebut.
Dari
interaksi ini munculnya benih-benih Leadership yang diharapkan akan melahirkan
pemimpin-pemimpin yang tangguh. Peter
Senge dalam Global Learning Service menjelaskan tujuh dimensi penguasaan
diri yang harus dibudayakan untuk mendukung proses pengembangan mencapai Personal
Mastery:
a. Kesadaran Diri (Self-Awareness)
Self-awareness merupakan dasar untuk Personal Mastery dan efektivitas
dalam berhubungan dengan orang lain. Self-awareness dapat dijadikan
kunci sebagai pemegang kendali untuk pengembangan personal dan profesional.
b. Ketajaman Perseptual (Perceptual
Acuity)
Perceptual Acuity merupakan kemampuan dalam menafsirkan pesan yang diperoleh
melalui persepsi, observasi, dan kemampuan mendengar.
c.
Penguasaan Emosional (Emotional Mastery)
Penguasaan emosi adalah bagaimana seseorang memahami emosi
diri, mengenal emosi orang lain, dan kemampuannya untuk memanajemen emosi untuk
menghargai orang lain. Goleman membagi lima kecerdasan emosi dalam buku “Emotional
Intelligence”, yaitu:
1) Kesadaran Diri
2) Regulasi Diri (Self-Regulation)
3) Motivasi Diri (Internal
Motivation)
4) Empati (Empathy)
5)
Kemampuan Sosial (Social Skills)
d.
Keterbukaan (Openness)
Organisasi tidak hanya dihuni oleh satu pemikiran. Seseorang
bisa terbuka menerima pemikiran orang lain, serta bersedia untuk menggali ide
baru dan pengalaman demi sebuah perkembangan.
e.
Fleksibilitas dan Adaptasi (Flexibility and Adaptability)
Perubahan dan/atau perkembangan dalam organisasi menuntut
seseorang untuk mengikuti perubahan dan/atau perkembangan tersebut. Maka
seseorang harus mempunyai sikap fleksibel dan pintar untuk beradaptasi,
sehingga mampu memandang perubahan sebagai kesempatan baru.
f.
Otonomi (Autonomy)
Seseorang harus mampu mengendalikan hidup untuk mencapai
pikiran jernih dan kecerdasan, sensitivitas tinggi, rasa estetika, tanggung
jawab serta nilai spiritual. Seseorang yang autonomus mempunyai sikap Self-awareness
tinggi, keingintahuan tinggi, dan lebih proaktif daripada reaktif.
g.
Akal dan Daya Kreatif (Creative Resourcefullness)
Seseorang harus kreatif dan inovatif serta selalu menemukan
hal baru dalam melakukan sesuatu. Selalu terbuka akan ide-ide dan pengalaman
baru serta fleksibel dan adaptasi.
7. Strategi Pengembangan Personal Mastery
Banyak orang yang mengakui bahwa di antara semua disiplin
pembelajaran, Personal Mastery lah yang paling menjadi perhatian. Tidak
hanya meningkatkan kemampuan sendiri, namun juga meningkatkan kemampuan orang
lain. Banyak orang mengakui bahwa organisasi berkembang seiring dan sejalan
dengan para anggota. Beberapa orang mengetahui prinsip utama disiplin ini.
Tidak seorang pun bisa meningkatkan Personal Mastery orang lain, namun
hanya bisa menciptakan kondisi yang mendorong dan mendukung orang yang ingin
meningkatkan Personal Mastery.
Setiap orang harus menawarkan dorongan semangat dan
dukungan ini, karena pembelajaran tidak akan berlangsung lama kecuali dipicu
oleh minat dan rasa ingin tahu yang besar dari orang itu sendiri. Walaupun
pemicu tidak ada, orang akan patuh menerima pelatihan apa pun yang diberikan.
Dampak dari latihan itu berlangsung sementara, namun tanpa komitmen orang yang
dilatih akan berhenti menerapkan ketrampilan baru tersebut. Sebaliknya, jika
pembelajaran dikaitkan dengan visi seseorang, maka orang itu akan berupaya
keras mempertahankan agar pembelajaran dapat terus berlangsung. Namun, banyak
perusahaan cenderung merintangi daripada mendorong motivasi intrinsik. Untuk
mengembangkan Personal Mastery, bisa dilakukan dengan cara berikut ini:
a. Memperbesar
kemampuan pribadi (banyak melihat, banyak membaca, banyak mendengarkan, banyak
berfikir dan lebih banyak menggunakan hati), (berbaik sangka, positif thinking, lateral thinking dan crazy
thinking).
b. Menciptakan
hasil yang paling diinginkan
c. Menciptakan
lingkungan Organisasi yang memotivasi keberanian mengembangkan diri
d. Menentukan
dan mengarahkan tujuan-tujuan yang dipilih.
D.
Masalah/
Konflik Dalam Keluarga
Sekalipun dalam keluarga yang harmonis
konflik di antara anggota keluarga tidak jarang terjadi, penyebabnya bisa
bermacam-macam. Terkadang konflik yang terjadi dapat semakin menguatkan ikatan
dalam keluarga, tetapi tak jarang juga yang berujung dengan permusuhan jangka
panjang yang tak kunjung menemukan solusi untuk mengatasinya.
Kehidupan ini hendaknya senantiasa
selalu diisi dengan kebahagiaan, namun jika pertikaian dalam keluarga tak dapat
dihindarkan bersedialah untuk mengalah, kendalikan emosi Anda, berperan sertalah
untuk menyelesaikannya, jangan biarkan berlarut-larut. Tidak semua orang mampu
atau memiliki keahlian dalam menyelesaikan sebuah permasalahan.
1. Merasa tidak dihargai
Ada kalanya kurangnya rasa kasih di
dalam anggota keluarga membuat seseorang merasa tidak dihargai.
2. Kecemburuan
Kemampuan tiap-tiap individu
berbeda-beda dan hal ini dapat memunculkan kecemburuan di antara saudara.
Memang akan sangat ironi sekali bila di dalam keluarga sampai muncul
kecemburuan kepada anggota keluarga sendiri
3. Masalah privasi
Disamping sebagai makhluk sosial
manusia juga kadang memerlukan waktu bagi dirinya sendiri, dengan kata lain
menjadi individu. Di dalam keluarga, terkadang kita juga memerlukan
tempat-tempat tertentu untuk privasi kita seperti di kamar tidur. Konflik bisa
terjadi bila privasi kita diganggu oleh orang lain, bahkan oleh saudara kita
sendiri.
4. Ekonomi
Keadaan ekonomi di dalam keluarga Anda
hendaknya tidak menjadi jurang pemisah antar sesama saudara.
5. Komunikasi yang tidak lancar
Komunikasi yang terjalin dengan baik
di dalam sebuah keluarga adalah satu hal yang sangat penting untuk terciptanya
keharmonisan, namun bila komunikasi antara suami dan istri atau orang tua
dengan anak-anak tidak berjalan lancar, maka keluarga tersebut tidak akan bisa
bertahan..
6. Perbedaan agama
Tak jarang di dalam sebuah keluarga
terdiri dari anggota keluarga yang memiliki keyakinan yang berbeda, perbedaan
keyakinan tersebut mampu menjadi pemicu terjadinya sebuah konflik jika
masing-masing orang tidak memiliki toleransi satu sama lain.
Konflik banyak terjadi anak dan
orangtua khususnya pada masa remaja anak-ank dan orangtua. Sering terjadi
konflik karena:
1.
Standar
Perilaku
Remaja sering menganggap standar
perilaku orang tua yang kuno dan yang modern berbeda, dan standar
perilaku orang tua yang kuno harus menyesuaikan dengan yang modern.
2.
Metode
Disiplin
Remaja akan memberontak apabila metode
disiplin yang digunakan orang tua
dianggap “tidak adil “ atau “kekanak-kanakan”.
3.
Hubungan
Saudara Kandung
Remaja menganggap orang tua melakukan
pilih kasih dengan saudara, sehingga perasaan membenci saudara muncul.
4.
Merasa
Menjadi Korban
Remaja sering merasa benci kalau
status sosial ekonomi keluarga tidak memungkinkan mempunyai simbul-simbul
status yang sama dengan yang dimiliki teman-teman, seperti pakaian, mobil,
rumah dll. tidak menyukai bila harus memikul tanggung jawab rumah tangga
seperti; merawat adik-adik, atau bila orang tua tiri masuk kerumah dan mencoba
“memerintah”. Hal seperti itu tidak sukai dan hanya menambah ketegangan
hubungan dengan orang tua.
5.
Sikap
Yang Sangat Kritis
Anggota keluarga tidak menyukai
sikap yang terlampau kritis terhadap diri mereka dan terhadap pola
kehidupan keluarga pada umumnya
6.
Besarnya
Keluarga
Dalam keluarga yang terdiri dari tiga
atau empat anak lebih sering terjadi konflik dibandingkan dengan keluarga kecil
7.
Perilaku
Yang Kurang Matang
Remaja membenci sikap orang tua yang
sering menghukum bila mengabaikan tugas-tugas sekolah, melalikan tanggung
jawab, atau membelanjakan uang semaunya.
8.
Masalah
Palang Pintu
Kehidupan sosial sebagai remaja
yang baru dan yang lebih aktif akan mengakibatkan pelangaran peraturan keluarga
mengenai waktu pulang dan mengenai teman-teman dengan siapa berhubungan.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Kasus
Konflik dalam Keluarga
Meninjau
dari kehidupan keluarga peneliti, ditemukan beberapa kasus keluarga yang
menjadi konflik berkepanjangan antara anggota keluarga yang lain. Keluarga
terdiri dari keluarga besar yaitu bapak, ibu dan tujuh anak (2 anak laki-laki tertua, dan 5 anak
perempuan). Terjadi beberapa konflik yaitu sebagai berikut:
- Kasus I
Seringkali orangtua
membanding-bandingkan anak satu dengan yang lain. sehingga timbul kecemburuan
dan rasa tidak percaya diri dari anggota keluarga.
- Kasus II
Terjadi pertengkaran besar antara anak
laki-laki tertua dan kepala keluarga (bapak) karena kesalahan pekerjaan.
Dilihat dari sisi sikap dan perlakuan orang tua, masalah remaja-orang tua
dapat timbul karena orang tua menggunakan pengalaman masa kecilnya sebagai
patokan dan petunjuk menghadapi tingkah laku anak, padahal keduanya berada pada
titik yang berbeda pada daur kehidupan mereka dalam lajur waktu yang panjang
dan penuh perubahan sosial. Dapat dikatakan bahwa masalah-masalah yang dialami
remaja sebagiannya timbul karena sikap dan perlakuan orang tua yang
konservatif. Penyelesaian masalah remaja oleh karenanya memerlukan perubahan
dari pihak orang tua serta dialog keduanya agar saling memahami benturan
perbedaan yang terjadi. Meski demikian, jika bentuk masalah remaja-orang tua
hanyalah perselisihan kecil sehari-hari, adalah normal dan berfungsi positif
dalam perkembangan masa transisi menuju kemandirian.
Konflik keluarga diatas, menimbulkan banyak masalah di
suatu organisasi kecil ini. Konflik diatas menimbulkan perasaan tidak percaya
diri, kemarahan, kesedihan, tidak dihormati dan tidak dihargai dari para
anggota keluarga. Tidak adanya “learning organization” dari konflik ini dapat
memecah hubungan para komponen sistem. Melalui pendekatan learning organization dengan penguatan personal mastery pada anggota keluarga menjadi cara terbaik
menghadapi konflik dalam keluarga.
B.
Implementasi
Kepemimpinan
Dalam
pelaksanaan kepemimpinan dalam keluarga sangat identik dengan keberadaan atau
tindakan ayah sebagai kepala keluarga.
Dalam hal pengaturan hal-hal yang Banyaknya learning organization termasuk
keluarga yang jelek, dilihat dari cara memanajemen, cara pekerjaan seseorang
didesain, dan cara berpikir dan beinteraksi akan menciptakan dasar
ketidakmampuan belajar. Ketidakmmapuan terus berlangsung meskipun upaya
cemerlang berjalan, serta orang-orang yang komitmen, dan seringkali hasil
pemecahan masalah jelek.
Beberapa
hal yang menjadi penyebab hal ini adalah orang dalam organisasi memfokuskan
hanya pada mereka, dan hanya sedikit yang peduli terhadap tanggung jawab ketika
seluruh posisi berinteraksi. Misalnya ayah hanya fokus pada pekerjaannya,
demikian juga dengan ibu dan anggota keluarga lainnya, tidak ada interaksi yang
baik, sehingga ketika timbul kekecewaan,sangat sulit untuk mengetahui mengapa,
sehingga asumsi yang muncul adalah orang lain adalah penyebab keacauan tanpa
ada pemecahan masalah bersama. Masing-masing anggota cenderung untuk mencari
kesalahan seseorang atau di luar kita yang bisa disalahkan atas sesuatu yang
keliru.
Dalam
penyelesaian masalah di keluarga, contohnya ketika seorang anak melakukan
sesuatu tindakan yang salah dan membuat anggota keluarga lain merasa terganggu,
sikap kepemimpinan seorang ayah seringkali tidak nampak, ayah sebagai pemimpin
biasanya tidak dapat beradaptasi dalam keadaan tertekan sehingga bukan
memecahkan masalah justru menambah masalah yang diakibatkan emosi yang tidak
terkontrol dan kecenderungan yang terjadi adalah menyalahkan orang lain atas kekeliruan
yang terjadi tanpa menyeleaikan masalah. Kontribusi terhadap penyelesaian
masalah lebih bersifat emosional, bukan dari cara berpikir.
Penerapan
humanistik dalam keluarga juga telah diterapkan oleh ayah sebagai pemimpin,
dengan memperhitungkan harapan-harapan dan keterampilan anggota, sehingga
sebagai pemimpin, ayah mampu mengarahkan anggotanya misalnya dalam pemilihan
pendidikan. Namun untuk beberapa kasus, biasanya pemilihan pendidikan tidak
dengan melihat harapan dan kemampuan anggota, namun berdasarkan ambisi ayah,
sehingga dengan menggunakan otoritas yang dimiliki seringkali ayah memaksakan
kehendaknya kepada anak untuk melanjutkan pendidikan sesuai keinginan ayah. Hal
ini ternyata menimbulkan dampak yang negatif bagi anak, misalnya apabila
keterampilan yang dimiliki seorang anak adalah seni, dan berdasarkan anggapan
ayah tidak memiliki masa depan, sehingga ia memaksa anaknya untuk mengambil
kuliah jurusan guru, atau kesehatan.
Tipe
perilaku kepemimpinan yang belum sepenuhnya dipahami oleh pemimpin, dimana
dalam suatu keputusan harus dijelaskan dan terbuka, namun realita yang terjadi
adalah sifat kepemimpinan cenderung bersifat pasif, kekuasaan ada pada
pemimpin. Adanya kecenderungan bagi seorang pemimpin yang merasa kehilangan
kekuasaannya bila para anggota tidak lagi sepenuh hati melaksanakan segala
kewajibannya. Hal ini seringkali terjadi apabila ayah sebagai seorang pemimpin
atau mungkin ibu yang merasa tidak dihargai apabila anggota keluarga yang lain
tidak melaksanakan tugas atau hal lain yang diperintahkan oleh ayah atau ibu,
akibatnya sering terjadi kesalahpahaman bahkan menimbulkan pertengkaran yang
berujung pada permasalahan baru dalam keluarga.
Ketika
terjadi permasalahan dalam keluarga misalnya antar anggota yang satu dengan
yang lain, dalam penyelesaiannya kita lebih melihat bahwa kita ada pada kondisi
melihat kehidupan sebagai suatu seri dari peristiwa, dan setiap peristiwa terjadi
karena ada satu penyebab yang jelas, sehingga kita cenderung mencari
penyebabnya, tanpa melihat secara bijaksana hal yang lebih penting untuk
dilakukan seperti mendamaikan anggota yang berselisih (Peter Senge 1996).
Ketidakmampuan
belajar dan realita yang terjadi dalam keluarga telah terjadi dalam waktu yang
lama, kita hidup dalam masa sekarang yang membahayakan, dan ketidakmampuan
pembelajaran yang sama terjadi, bersama dengan konsekuensinya. Lima disiplin
dari learning organization, diyakini
bertindak sebagai penangkal terhadap ketidakmampuan belajar.
Beberapa
hal yang menghambat personal vision dalam keluarga adalah persepsi yang tertanam
bahwa pria yang harus membuat keputusan dalam keluarga dan tugas wanita adalah
mengandung dan membersarkan anak. Persepsi demikian merupakan mental models
yang salah akibatnya angota keluarga tidak memiliki kebebasan atau personal
vision bagi masa depannya. Proses pembelajaran organisasi dengan pendekatan personal mastery akan membantu anggota
mengubah persepsi ini, lingkungan keluarga harus mampu membangun rasa percaya
diri anggotanya terhadap kemampuan yang dimiliki.
C.
Penguatan
Personal Mastery untuk Mengatasi Konflik dan Kepemimpinan dalam Keluarga
Praktik
personal mastery dipusatkan pada
pergeseran pandangan orang tentang hubungan mereka dengan dunia. Dalam istilah
Robert Fritz, pergeseran tersebut berangkat dari sikap yang "reaktif"
(merespons terhadap peristiwa), menjadi "kreatif" (menciptakan masa depan
yang anda inginkan). Ketika orang-orang mempraktikkan personal mastery, mereka mulai masuk ke dalam orientasi ketiga:
"saling tergantung," di mana mereka dan dunia saling berhubungan
secara harmonis kata Charlotte Roberts . Pergeseran antar orientasi merupakan
hal yang sangat penting, karena hal itu mempengaruhi aspek kemampuan seseorang
untuk berpartisipasi dalam membangun organisasi pembelajaran.
Personal
mastery mengajarkan agar kita tidak menurunkan visi kita,
walaupun visi itu tampaknya tidak mungkin. personal
mastery juga mengajarkan kepada kita bahwa isi visi itu sendiri tidaklah
begitu penting. "Yang penting bukanlah isi visinya," kata Robert
Fritz. "Namun apa yang dilakukan oleh visi tersebut." Ada banyak
kisah tentang orang-orang yang mencapai keberhasilan luar biasa dengan visi
yang luar biasa di mana hasil-hasil tersebut ternyata berbeda dengan maksud
semula mereka.
Personal
mastery juga mengajarkan kita untuk tidak menyerah dalam
memandang dunia seperti apa adanya, sekalipun itu membuat kita merasa tidak
nyaman. Melihat realitas saat ini dengan lebih seksama dan lebih jernih adalah
salah satu pekerjaan yang paling sulit dari disiplin ini. Hal ini menuntut
kemampuan untuk bertanya kepada diri anda sendiri, bukan saja dalam masa-masa
tenang namun juga dalam masa-masa sulit, "Apa yang sedang terjadi saat
ini? Mengapa kenyataan yang saya hadapi begitu sulit? Akhirnya, personal mastery mengajarkan kita untuk
memilih. Memilih adalah tindakan yang berani: mengambil hasil dan tindakan yang
akan menentukan nasib anda.
Anggota
dalam keluarga menempatkan penekanan tertentu pada keinginan pribadi atau bisa
dikatakan ambisi. Setelah hal yang menjadi visi terlaksana, ada perasaan akan
tujuan yang menarik yang memaksa untuk menetapkan suatu visi yang baru. Dalam
organisasi keluarga ada visi bersama misalnya menjadikan keluarga yang damai,
sejahtera dan saling mengasihi. Visi bersama akan dibentuk dari visi pribadi.
Kemampuan untuk mempunyai visi pribadi diekspresikan sebagai bentuk kepedulian
yang tulus, sehingga bila orang benar-benar peduli secara tulus, mereka pasti
memiliki komitmen untuk mewujudkan visi.
Hal
ini merupakan hal yang penting mengapa keahlian pribadi harus menjadi suatu
disiplin, karena merupakan proses yang secara terus menerus memfokuskan dan
memfokuskan kembali pada apa yang benar-benar dinginkan oleh seseorang pada
visi seseorang. Orang yang memiliki personal mastery akan terus menerus
menguji visi pribadi dalam hidup dan mengadakan pilihan berdasarkan apa yang
hendak dicapai.
Posisi
yang benar dari visi (apa yang diinginkan) adalah sebaiknya suatu gambaran
realita saat ini yang menghasilkan tegangan kreatif. Suatu gaya yang membawa
mereka bersatu, karena kecenderungan alamiah dari tegangan untuk mencari
pemecahan. Inti dari personal matery
adalah bagaimana menghasilkan dan mempertahankan tegangan kreatif dalam hidup
khususnya keluarga. Misalnya jika karet gelang di renggangkan, mempersentasikan
tegangan antara visi dan realita yang mencari pemecahan atau pelepasan.
Terdapat dua cara yang mungkin bagi kita untuk mengatasinya yang pertama
menarik realita ke arah visi, atau menarik visi ke arah realita, yang
tergantung dari apakah kita berpegang teguh pada visi. Hal ini sering terjadi
dalam keluarga, misalnya orang tua menginginkan anaknya menjadi seperti orang
tua nya dalam hal karir, namun kapabilitas anak yang tidak mampu. Sehingga
timbul tegangan antara visi dan misi. Akibatnya muncul kecemasan dan stress,
dan untuk mengatasai hal ini maka kita harus menurunkan visi dengan menembak
sedikit lebih rendah dari visi yang di inginkan.
Untuk
menerapkan disiplin personal mastery dalam
keluarga maka orang harus hidup dalam suatu gaya belajar secara berkelanjutan.
Suatu proses mengenai orang yang benar-benar matang karena membangun dan
memegang nilai mendalam, membuat komitmen atas tujuan yang lebih besar, menjadi
terbuka, menerapkan keinginan yang bebas. Pembelajaran dilakuan untuk
memperoleh dan mengakumulasi pengetahuan dari pengalaman sehari-hari, dengan
pengusaan diri dan menejemen waktu untuk mendahulukan yang penting dan urgent
(Mattrik Stevhen Covey). Apabila personal
mastery diterapkan dalam keluarga maka terbentuk organisasi keluarga yang
memiliki komitmen terhadap penguasaan pribadi dengan memberikan lingkungan yang
dapat mendorong visi pribadi, komitmen terhadap kebenaran, dan kemauan untuk
menghadapi secara jujur jurang-jurang antara keduanya.
Sebagaimana Kita, dalam
hidup berkeluarga pasti ada masalah ataupun konflik. Masalah/konflik itu pun
mempunyai beberapa macam bentuk, diantaranya dapat berupa seperti puzzle,
dimana kita tahu jawaban dari masalah tersebut, tapi Kita belum yakin karena
sebab-sebabnya atau jawaban tersebut, belum spesifik, contohnya :
pertengkaran ang terjadi antara istri dan suami, anak dan orangtua, anak yang
selalu tidak mau menerima nasehat dan sebagainya. Jadi disini Kita bisa
menerapkan sistem try and error dan
belajar dari kesalahan tersebut.
Lalu masalah pun dapat
berupa seperti dilema, dimana dalam menyelesaikan masalah kita ditemui pilihan
yang sama-sama benar atau enak, tapi kita harus memilih salah satu diantara
beberapa pilihan itu. Dan ada juga masalah yang berupa misteri, dimana
permasalahan tersebut belum diketahui penyebabnya dan solusinya, contohnya
penyakit yang tak kunjung sembuh, dan belum bisa menemukan obatnya. Menjadi
penting dalam mengatasi konflik tersebut dengan kita menerapkan proses
pembelajaran yang disebut learnig family.
Langkah pembelajaran pertama
adalah mempunyai sasaran bersama yang terus diperjuangkan realisasinya.
Sasaran bersama tersebut dapat berupa apapun sesuai dengan keadaan dan
kesepakatan bersama. Contohnya, memiliki rumah, anak, kendaraan, tabungan masa
depan, atau mempunyai usaha. Dan sifatnya pun bisa kita pilih sesuka kita, mau
untuk jangka pendek, jangka menengah, atau jangka panjang.
Hal ini penting karena punya
sasaran bersama adalah syarat penting dalam membentuk learning family.
Bayangkan, kalau tidak punya sasaran bersama, maka batin akan kosong, keinginan
untuk memperbaiki diri menjadi lebih baik pun akan berkurang, karena tidak
memiliki sasaran bersama yang dapat diperjuangkan bersama-sama. Selain itu,
sasaran bersama pun akan menjauhkan Kita dari kekosongan emosi dalam
berkeluarga. Dan dengan mempunyai sasaran bersama ini pun menjadi dasar dalam membentuk
team buliding dalam keluarga. Maka dalam teori learning, dikenal, share vision
dan team buliding.
Langkah kedua adalah membentuk mental model dan
mengubah mental model yang salah persepsi. Dimana
saat Kita dihadapi masalah dengan berbagai macam bentuknya, disini bagaimana
kita mampu mengembangkan kemampuan dalam menangani masalah dan memperbaiki
penyikapan terhadap masalah. Hal tersebut dapat dilakukan, dengan mencoba tidak
melihat suatu masalah sebagai tekanan, ancaman atau hal yang berat yang
solusinya akhirnya menyalahkan pasangan atau anggota keluarga lainnya. Tapi
coba pandang masalah sebagai suatu tantangan atau bagian dari tanggung jawab
bersama.
Langkah pembelajaran yang ketiga adalah membuka pintu
dialog. Menurut Danah Zohar dan Ian Marshall, dialog
adalah instrumen untuk mencerahkan spiritual. Dalam keluarga, tradisi dialog
ini penting. Dialog akan memecahkan kebuntuan, akan memperkaya dan
mempositifkan perspektif. Dialog akan membuat kita sama-sama saling belajar.
Kalau membaca tulisan Danah Zohar dan Ian Marshall (2004) atau tulisan Mark
Gerzon (2006), ciri-ciri dialog itu antara lain:
1. Kita beranggapan semua orang punya kebenaran atau punya sebagian
kebenaran.
2. Kita memposisikan orang lain sebagai mitra untuk menciptakan kesepahaman.
3. Kita berbicara tentang bagaimana mengeksplorasi yang terbaik.
4. Kita mendengarkan untuk memahami atau untuk mencapai kesepakatan.
5. Kita menyatakan opini untuk dievaluasi atau disempurnakan.
6. Kita melihat semua pihak (mempertimbangkan berbagai perspektif)
7. Kita sadar bahwa masing-masing bisa saling melengkapi
8. Kita berusaha menemukan kelebihan dari masing-masing
9. Kita berusaha menemukan solusi, opsi, atau alternatif baru
Yang perlu kita lawan bersama adalah debat. Apalagi
debat kusir. Selain bisa membuat
rasa nikmat itu hilang, ini juga kerapkali tidak mendatangkan solusi.
Langkah pembelajaran keempat adalah sama-sama
meningkatkan kemajuan dengan kelebihan dan kekurangan (personal mastery). Mengapa hal demikian penting? Pertama, kalau hanya kita saja yang
bertambah ilmunya, sedangkan pasangan kita tidak, maka akan terjadi keadaan
yang tidak seimbang, sehingga akan mempengaruhi komunikasi dan perspektif.
Kedua, terkait dengan soal mentalitas (leadership atau ownership).
Dan terakhir adalah mengisi kegiatan keluarga dengan
kegiatan keagamaan dan unsur religius. Religius disini
pengerrtiannya lebih ke pencerahan bathin, kedekatan bathin pada hal-hal yang
positif, benar, yang dapat bermanfaat bagi kebaikan. Hubungannya dengan learning family, adalah
untuk menciptakan suasana kondusif dalam keluarga. Selain itu dapat menambah
kenikmatan dalam menjalankan hidup berkeluarga. Karena Agama adalah nikmat
penyempurna. Kalau kita sedang berkuasa, ekonomi makmur, dan sehat-sehat,
tetapi tanpa agama, nikmatnya masih ada yang kurang. Lebih kurang lagi kalau
sudah tidak makmur tanpa agama pula.
Dan dalam menjalankan
learning family tidak bisa dijalankan hanya oleh satu anggota keluarga. Tapi
learning family dapat berjalan jika setiap anggota keluarga mau menjalankannya.
IV. PENUTUP
A.
SIMPULAN
Berdasarkan ulasan
diatas dapat saya simpulkan bahwa :
1. Keluarga
adalah sekumpulan orang yang karena ikatan
darah ataupun ikatan perkawinan yang saling berinteraksi dan menjalankan perannya
masing-masing. Umumnya dalam suatu keluarga terdiri dari Bapak, Ibu, dan
anak-anaknya ataupun anggota keluarga yang lainnya.
2. Penguasaan
diri (personal mastery) adalah sebuah
proses pembelajaran kehidupan seseorang, bukan sesuatu yang sudah dimiliki.
Penguasaan diri itu tentang mencintai diri sendiri dan mengembangkan bakat yang
dimiliki semaksimal mungkin.
3. Banyak
masalah/konflik yang timbul dalam keluarga, maka untuk mengatasi hal tersebut
dapat melalui pendekatan learning organization dengan penguatan personal
mastery setiap anggota keluarga.
4. Pertama,
menentukan visi bersama misalnya menjadikan keluarga yang damai, sejahtera dan
saling mengasihi. Visi bersama akan dibentuk dari visi pribadi. Kemampuan untuk
mempunyai visi pribadi diekspresikan sebagai bentuk kepedulian yang tulus,
sehingga bila orang benar-benar peduli secara tulus, mereka pasti memiliki
komitmen untuk mewujudkan visi.
5. Kedua,
menghasilkan dan mempertahankan tegangan kreatif dalam hidup khususnya
keluarga. Terdapat dua cara yang mungkin bagi kita untuk mengatasinya yang
pertama menarik realita ke arah visi, atau menarik visi ke arah realita, yang
tergantung dari apakah kita berpegang teguh pada visi.
6. Menerapkan
disiplin personal mastery dalam
keluarga maka orang harus hidup dalam suatu gaya belajar secara berkelanjutan.
Suatu proses mengenai orang yang benar-benar matang karena membangun dan
memegang nilai mendalam, membuat komitmen atas tujuan yang lebih besar, menjadi
terbuka, menerapkan keinginan yang bebas.
7. Mengatasi
masalah atau konflik dapat melalui kegiatan learning familiy dengan
langkah-langkah: langkah pembelajaran pertama
adalah mempunyai sasaran bersama yang terus diperjuangkan realisasinya. Langkah
kedua adalah membentuk mental model dan mengubah mental model yang salah
persepsi. Langkah pembelajaran yang ketiga adalah membuka pintu dialog.
Langkah pembelajaran keempat adalah sama-sama meningkatkan kemajuan dengan
kelebihan dan kekurangan (personal mastery). Dan terakhir adalah mengisi
kegiatan keluarga dengan kegiatan keagamaan dan unsur religius.
B.
SARAN
1. Harus
ada proses pembelajaran dalam secara terus menerus untuk memiliki keahlian
pribadi.
2. Menciptakan
lingkungan keluarga yang nyaman, saling percaya dan terbuka sehingga anggota
keluarga lainnya memiliki rasa percaya diri terhadap kemampuan yang dimiliki,
tidak berdasarkan paksaan dari kepala keluarga atau orang yang lebih tua.
3. Harus
terus menguji visi pribadi apa yang sebenarnya hendak dicapai.
4. Melihat
secara objektif visi pribadi dan membandingkan dengan realita yang terjadi,
sehingga visi benar-benar nyata dan dapat di laksanakan.
5. Seorang
pemimpin harus bisa dan mampu menjadi model bagi anggota lainnya serta dalam
menghadapi suatu masalah kepala keluarga menjadi hakim yang bijaksana dalam memberikan
solusi dan memutuskan langkah selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
AnekaKawan. (2010, Oktober 5). Dipetik Desember 8,
2015, dari Personal Mastery: http://karsuibalok2010.blogspot.co.id/2010/10/fenomena-changeling-sebuah-analisa.htm4l
Braham,
B. (2009). Creating A Learning Organization. Jakarta: Gramedia.
Das,
i. (2015, Juni 17). Dipetik Desember 8, 2015, dari Orangtua- Anak Remaja,
perlakuan, Konflik dan kenakalan:
http://www.kompasiana.com/konselor-irsyad.blogspot.com/orang-tua-anak-remaja-perlakuan-konflik-dan-kenakalan_54f91857a3331142038b4615
Kartono.
(2003). Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta: PT Raja Gravindo.
Nasution,
A. (2014, Februari 7). Dipetik Desember 8, 2015, dari Lima Prinsip Peter Sange:
http://abdusima.blogspot.co.id/2014/02/lima-prinsip-peter-sange.html
Puspitawati,
H. (2013). Dipetik Desember 8, 2015, dari Konsep dan Teori Keluarga:
http://ikk.fema.ipb.ac.id/v2/images/karyailmiah/teori.pdf
Putri,
S. (2012, April). Dipetik Desember 8, 2015, dari Membangun Learning Family:
http://salsabilaprincess.blogspot.co.id/2012/04/membangun-learning-family.html
Rohman,
O. (2011, Oktober 14). Dipetik Desember 8, 2015, dari Konflik Emosi Remaja dengan
Orangtua:
https://sulartiningsih.wordpress.com/2011/10/14/konflik-emosi-remaja-dengan-orang-tua/
Senge,
P. (Disiplin Kelima Seni dan Praktek dari Organisasi Pembelajar). 1996.
Jakarta: Binarupa Aksara.
Setiawan,
A. C. (2012, April). Dipetik Desember 8, 2015, dari Konflik dalam Keluarga:
Penyebab dan Cara Menyelesaikannya:
http://keluarga.com/keluarga/konflik-dalam-keluarga-penyebab-dan-cara-menyelesaikannya
Sitinjak,
E. V. (2010, Oktober 4). Saat Mata Terbuka. Dipetik Desember 8, 2015,
dari Pemimpin dan Jiwa Pemimpin:
http://saatmatakuterbuka.blogspot.co.id/2010/10/pemimpin-dan-jiwa-pemimpin-pemimpin.html
Komentar
Posting Komentar